Gus Dur: Pemimpin Tanpa Sekat, Kyai Tanpa Batas

Kita mengenal sosok Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat berpengaruh. Selain sebagai tokoh besar NU, Gus Dur juga merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama, yang dikenal sebagai ulama karismatik.
Gus Dur menjadi Presiden keempat Republik Indonesia, dan proses terpilihnya beliau tidak didasari oleh ambisi kekuasaan atau harta. Justru, kiprah Gus Dur mencerminkan seorang pemimpin yang tulus dan tidak mengejar jabatan. Jejak digital dan sejarah kepemimpinannya yang terekam dalam berbagai sumber menunjukkan adanya perubahan positif dalam tatanan Indonesia semasa beliau memimpin.
Materi-materi yang saya dapatkan dalam Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) dan selama mengikuti instruktur PKP memberikan gambaran progresif tentang kepemimpinan Gus Dur yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman.
Pemimpin Bagi Semua Golongan
Salah satu yang paling membekas dalam era kepemimpinan Gus Dur adalah keberpihakan beliau terhadap kelompok minoritas. Sebut saja komunitas Tionghoa, yang sebelumnya kurang mendapatkan tempat yang layak dalam kehidupan berbangsa. Gus Dur memberikan ruang yang lebih adil bagi mereka untuk mengekspresikan identitas budaya dan agamanya, menjadikannya dikenal luas sebagai Bapak Pluralisme.
Beliau tidak hanya menjadi tokoh nasional, tetapi juga sosok yang menginspirasi lintas golongan, bahkan lintas agama. Kata-kata yang sering dikenang adalah, “Indonesia ada karena keberagaman.” Melalui pandangan ini, Gus Dur hadir sebagai pemimpin yang merangkul semua pihak tanpa menganakemaskan satu golongan atau menganaktirikan yang lain.
Bahkan, jaringan Gusdurian hingga saat ini terus berupaya menghidupkan pemikiran dan semangat Gus Dur dalam berbagai bentuk seperti seminar, dialog lintas agama, dan kegiatan sosial. Semangat pluralisme dan toleransi dijadikan landasan kuat dalam membangun Indonesia yang harmonis.
Kebijakan Revolusioner dan Sikap Moderat
Salah satu kebijakan besar Gus Dur yang menunjukkan keberpihakan pada keadilan sosial adalah pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang sebelumnya membatasi ruang gerak etnis Tionghoa dalam mengekspresikan budaya dan agamanya. Dengan dicabutnya Inpres ini, masyarakat Tionghoa kembali bebas merayakan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar nasional.
Selain itu, Gus Dur juga mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia sehingga Indonesia memiliki enam agama yang diakui: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Kebijakan ini adalah langkah besar menuju keadilan beragama di Indonesia, meskipun tentu tidak mudah bagi Gus Dur untuk menghadapi reaksi dari berbagai pihak, terutama kelompok konservatif.
Namun, dengan keteguhan hati dan konsistensi terhadap nilai-nilai yang beliau yakini, Gus Dur tetap melangkah. Beliau menghadapi hujatan dan tuduhan sesat dengan kepala tegak, menunjukkan bahwa keberpihakannya pada keadilan dan kemanusiaan bukan sekadar retorika.
Warisan Pemikiran dan Nilai Kemanusiaan
Gus Dur mengajarkan bahwa pluralisme bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Pengakuan terhadap kaum minoritas dan penghormatan terhadap perbedaan adalah bagian dari misi besar beliau sebagai pemimpin bangsa.
KH. Abdurrahman Wahid merupakan figur yang mendukung kemerdekaan individu dalam memilih jalan hidup dan keyakinannya, selama tidak mengganggu hak orang lain. Sosok beliau menjadi panutan dalam menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang berpihak pada kemanusiaan.
Banyak nilai yang bisa diambil oleh generasi muda dari pemikiran Gus Dur, antara lain ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan tradisi.
Nilai-nilai ini merupakan warisan pemikiran yang sangat relevan untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dan ke depan.
Editor: Farhan Azizi