Antara Patuh dan Ingkar Kepada Pemimpin

Pemimpin
https://unsplash.com/photos/a-person-sitting-on-a-staircase-oVSz_f6U9L0

Pada pembahasan kali ini, kita akan mengulas tentang bagaimana seorang Muslim menunjukkan kepatuhan kepada seorang pemimpin. Hal ini relevan dengan kasus yang sedang viral pada bulan ini, yakni terkait film Bidaah yang dirilis oleh industri perfilman Malaysia dan mengguncang dunia perfilman, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Dalam salah satu adegan, diperlihatkan bagaimana ketaatan kepada seorang imam dibungkus atas nama agama, namun justru digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang di luar batas. Akan tetapi, konotasi tentang agama dalam hal ini tidak serta-merta dapat disalahkan berdasarkan alur cerita tersebut. Yang perlu disoroti adalah bagaimana oknum tersebut menyalahgunakan kewenangan dengan menjadikan agama sebagai pembungkus untuk kepentingan pribadinya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip dasar Islam.

Agama tidak seharusnya dijadikan kedok semata, melainkan menjadi pengendali diri bagi manusia. Dalam filsafat pun dijelaskan bahwa yang membatasi diri kita bukan semata-mata agama, melainkan kesadaran dan akal budi kita sendiri. Agama hadir dengan membawa rambu-rambu moral dan etika yang harus diindahkan oleh setiap umat Muslim. Kejahatan atau penyimpangan seperti dalam kasus tersebut murni berasal dari hawa nafsu, dan tidak dapat dibenarkan dengan berdalih atas nama agama, apalagi sampai mendorong umat untuk melakukan ketaatan (taqlid) buta.

Sebagaimana firman-Nya, menaati perintah seorang pemimpin merupakan bagian dari ketaatan, selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Maka, ketaatan kepada pemimpin adalah wajib sebagai bentuk menjaga persatuan dan stabilitas umat, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 59.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّووْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”

QS. An-Nisa: 59

Hal ini pun diperkuat dengan ayat lainnya yang menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi telah diatur oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, dan bahwa manusia tidak boleh mengikuti kesesatan, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 256.


لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…”

QS. Al-Baqarah: 256.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari film tersebut adalah bahwa seorang pemimpin tidak hanya dituntut untuk memberikan contoh yang baik secara lahir (zhahir), tetapi juga secara batin.

Dengan demikian, pancaran cahaya dari Allah SWT tidak hanya tampak pada aura wajahnya, tetapi juga melalui kebijaksanaan yang terpancar dari dalam dirinya. Dalam konteks kepemimpinan, hal ini sangat penting. Seorang pemimpin tidak cukup hanya bersikap tegas dan berwibawa, tetapi juga harus menjadi teladan dalam perilaku dan akhlaknya.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Berikanlah contoh, bukan sekadar perkataan,” yang sangat relevan dan patut menjadi bahan renungan bagi setiap pemimpin. Baik itu pemimpin negara, pemimpin agama, bahkan pemimpin dalam lingkup paling sederhana seperti kepala rumah tangga.

Kewibawaan sejati tidak lahir dari jubah yang dikenakan atau istana yang dimiliki, melainkan dari kedekatannya kepada Allah SWT. Seperti dijelaskan dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…”

Kepemimpinan dalam Islam tidak didasarkan pada suku, ras, atau jabatan, melainkan pada ketakwaan. Islam telah menetapkan pedoman yang jelas dalam memilih pemimpin, yakni bahwa seorang pemimpin ideal harus memiliki empat sifat utama: sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).

Selain itu, Islam juga mengajarkan bahwa dalam belajar ilmu agama, seorang Muslim harus memiliki guru sebagai pembimbing agar tidak tersesat dalam pemahaman. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menekankan pentingnya bimbingan yang benar dalam urusan kepemimpinan dan keilmuan.

Rasulullah SAW dengan tegas menjelaskan dalam hadisnya tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap terhadap pemimpinnya, seperti dalam hadis berikut:

مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى

“Barang siapa menaati aku, maka ia telah menaati Allah… Barang siapa menaati pemimpinku, maka ia telah menaati aku…”

(HR. Bukhari no. 7137, Muslim no. 1835)

Begitu pula dengan persoalan ketaatan kepada pemimpin, yang tidak berlaku dalam hal-hal yang mengandung kemaksiatan. Film Bidaah, meskipun bernuansa Islam, menampilkan adegan dan alur cerita yang justru mengarah kepada kemungkaran, di mana agama dijadikan tameng untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Hal ini sangat disayangkan, dan tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan dalam hal maksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf.”

(HR. Bukhari no. 7257, Muslim no. 1840)

Dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim yang taat kepada pemimpin menunjukkan komitmen terhadap persatuan umat, penerapan hukum Islam, dan stabilitas sosial demi tercapainya kesejahteraan bersama. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, seorang Muslim diwajibkan taat kepada pemimpin, selama tidak dalam hal yang mengandung kemungkaran atau kemaksiatan. Seorang Muslim juga dituntut untuk aktif dalam menegakkan keadilan dan menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun dan bijaksana.

Pelajaran berharga yang dapat kita ambil adalah pentingnya menilai sesuatu dengan bijak, tidak menelannya secara mentah-mentah. Kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian dan maksud dari suatu karya, seperti film, agar sebagai makhluk yang dianugerahi akal, kita dapat menelaah lebih dalam dalam beragama. Pada hakikatnya, agama merupakan jalan hidup dalam mengarungi perjalanan panjang ini. Mengikuti guru yang salah dapat menjerumuskan kita ke dalam hal-hal yang tidak kita inginkan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperbaiki niat dan tingkah laku, sehingga dapat mencerminkan teladan kita, yaitu Rasulullah SAW. Dari sana, kita dapat mencontoh secara detail bagaimana seorang pemimpin yang adil dan bijaksana.

Editor: Muhammad Farhan Azizi

Suara Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *