KTP-ku Hilang di Ruang Rapat
Namaku tak disebut dalam daftar hadir.
Padahal aku hadir, lengkap dengan luka dan utang.
Alamatku tergelincir di antara pasal-pasal
yang dibacakan tanpa sempat dipahami.
Pekerjaanku: korban kebijakan.
Agamaku: berharap tanpa sebab.
KTP-ku diambil, lalu dikembalikan
tanpa tanda tangan validasi keadilan.
Ruang rapat penuh kursi empuk dan angka-angka.
Di layar, diagram menyebut rakyat sejahtera.
Tapi aku yang disebut
tidak pernah diajak makan siang.
Keputusan dibuat tanpa bahasa kami,
hanya isyarat tangan dan mata saling mengangguk.
Kami duduk di luar gedung,
memegang poster bertuliskan:
“Saya Ada, Tapi Tidak Terlihat.”
Setiap data kami dikonversi jadi presentasi,
namun kami tidak punya akses ke file-nya.
Ketika protes,
mereka bilang itu bentuk partisipasi.
Tapi suara kami hanya masuk notulen,
bukan kebijakan.
Seperti suara burung di pohon
yang ditebang untuk pembangunan mall.
Ketika rapat selesai,
meja-meja ditinggalkan seperti janji.
Dokumen kami terselip di bawah gelas kopi,
bercampur dengan proposal yang dibacakan setengah hati.
Seseorang bertanya, “Rakyat setuju?”
Semua mengangguk.
Tapi kami sedang mengantre di kantor kelurahan,
mengurus KTP yang katanya sudah digital.
Perekaman biometrik gagal karena listrik padam.
Pencocokan data ditunda karena pejabat dinas sedang Dinas.
Kami disuruh datang besok,
dan besok berarti minggu depan.
Nomor antrean seperti takdir—
semakin kecil, semakin jauh dari kenyataan.
Dan nomor kami disalip oleh orang
yang punya koneksi ke ajudan kepala dinas.
Sistem ini menyimpan data,
tapi lupa manusia.
Kami punya NIK, tapi tidak punya daya tawar.
KTP kami bisa dipakai untuk pinjaman online,
tapi tak bisa untuk mengakses beasiswa.
Nama kami tercetak jelas,
tapi saat bencana datang,
petugas berkata: “Maaf, Anda tidak terdaftar.”
Di desa, Pak RT memungut iuran kebersihan
pakai daftar pemilih yang usang.
Sementara di kota,
anggota dewan menyebut partisipasi masyarakat tinggi.
Kami tertawa dalam kemiskinan,
karena satu-satunya yang aktif adalah
data kependudukan yang dibisniskan diam-diam.
Kami menuntut perbaikan data,
tapi formulirnya tercecer di meja resepsionis.
Pegawai sibuk main gawai,
sambil bilang: “Sabar ya, sistemnya sedang error.”
Kami menulis surat ke kementerian,
tapi dibalas dengan balasan otomatis.
Di akhir paragraf, tertulis:
“Terima kasih atas aspirasi Anda yang tidak berpengaruh.”
KTP-ku pernah kutunjukkan di TPS,
dengan harap suara akan jadi suara.
Tapi kotak suara seperti lubang hitam—
menelan harapan, memuntahkan kursi.
Mereka yang terpilih,
tak pernah kembali ke kantor kecamatan.
Padahal kami ingin bicara langsung
tentang jalan berlubang dan pupuk bersubsidi.
Kini KTP-ku entah di mana,
mungkin diselipkan di laci rapat yang sunyi.
Namaku masih hidup,
tapi ditulis miring di laporan tahunan.
Jika nanti aku mati,
harap jangan cari dataku di pusat pemerintahan.
Cukup tanyakan pada warung sebelah:
“Siapa yang tiap hari bayar pajak tapi tak diundang musyawarah?”
Mojokerto, 12 Mei 2025
Peti Mati di Kolom Komentar
Kematian hari ini diumumkan oleh akun palsu.
Jenazah kejujuran dibaringkan di atas linimasa.
Disalatkan dengan emoji dan diantarkan ke liang trending topic.
Orang-orang bersedih,
tapi hanya untuk dua menit sebelum swipe ke gosip terbaru.
Tak ada tahlil, hanya tanda suka dan repost.
Dan peti mati diseret oleh algoritma
menuju halaman depan portal berita.
Kolom komentar penuh dengan doa,
lalu disusul caci maki dalam kalimat pasif-agresif.
“Semoga tenang di sana,” tulis netizen,
padahal tadi pagi dia menyebarkan hoaks tentang korban.
Keadilan pun tertawa kecut,
karena ia tahu tak ada yang benar-benar peduli—
hanya ingin tampil bijak di tangkapan layar.
Ada yang mati dibunuh fakta,
tapi dibungkus opini hingga tampak biasa saja.
Ada yang dibungkam karena berbeda,
lalu dilabeli “pengganggu ketertiban digital.”
Laporan polisi dibuat,
namun kasus hilang saat iklan e-commerce muncul.
Keheningan jadi barang diskon
di tengah gempita notifikasi.
Di jagat media,
pelaku kejahatan berkomentar lebih dulu.
Ia ikut berduka,
bahkan me-retweet potret korban dengan bingkai hitam putih.
Ia bicara tentang moral
dengan suara yang dilatih oleh konsultan pencitraan.
Dan rakyat,
sekali lagi—bingung siapa yang mati, siapa yang membunuh.
Jurnalis menulis berita dari unggahan Instagram.
Editor menghapus paragraf yang terlalu manusiawi.
Korban hanya disebut sebagai “oknum.”
Nama lengkapnya disamarkan,
tapi alamatnya bocor di kolom komentar.
Satu nyawa hilang,
diganti dua juta klik.
Orang-orang berdebat tentang tragedi
seperti memilih tim bola.
“Dia pantas,” tulis satu akun.
“Jangan salahkan sistem,” timpal yang lain.
Dan kematian kehilangan maknanya,
hanya jadi bahan polling
di kanal polling demokrasi pixel.
Peti mati itu tak punya pegangannya.
Tak ada yang benar-benar mengangkatnya,
karena terlalu sibuk menilai warna benderanya.
Tabur bunga kini diganti thread Twitter.
Yasinan diganti unggahan karangan bunga digital
yang bisa dibeli dengan paylater belas kasihan.
Buzzer ikut berkabung,
atas kematian algoritma mereka sendiri.
Mereka menulis dengan gaya netral,
sebab gaji tetap jalan,
meski empati sudah berhenti di jam kerja.
Tiap satu kematian,
adalah konten baru untuk dikapitalisasi.
Dan dalam satu klik,
kematian itu digeser ke bawah layar.
Orang-orang kembali ke cerita selebritas dan promo bulan ini.
Korban pun jadi arsip
di galeri “kenangan sementara.”
Tak ada upacara,
hanya suara notifikasi
yang mengiringi jasad ke server terakhir.
Peti mati di kolom komentar masih terbuka.
Siapa pun bisa masuk,
asal salah bicara atau tak sesuai arus.
Di dalamnya:
puisi-puisi yang ditolak redaksi,
foto-foto yang dilaporkan sebagai pelanggaran komunitas,
dan suara-suara yang tak lolos moderasi.
Di situlah kini,
kebenaran dikuburkan setiap hari.
Mojokerto, 12 Mei 2025