Demo di Dalam Kantong Kresek


Mereka turun ke jalan,
bawa poster dari kuitansi listrik dan tagihan sembako.
Teriakannya tak menembus kaca mobil dinas.
Langit mendung,
tapi yang ditakuti malah gas air mata.
Spanduk dilukis pakai darah ayam kurban
karena cat mahal,
dan tinta sudah disedot biro informasi.


Seseorang berteriak “reformasi!”,
tapi speaker mati sejak dipinjam panitia konser.
Di pinggir trotoar, seorang ibu jual nasi bungkus
untuk para demonstran lapar dan idealis.
Anaknya tertidur di keranjang dagangan,
mimpi tentang kuliah tanpa utang.
Sementara polisi berjaga dengan rompi bersponsor.


Kantong kresek jadi pelindung kepala,
sebab helm terlalu mahal bagi protes rakyat kecil.
Mereka disebut biang kerusuhan,
padahal hanya ingin tagihan rumah sakit dihapus.
Media menyiarkan hanya sisi terbakar,
bukan yang terbakar hatinya.


Drone berputar di atas massa,
ambil gambar dari sudut yang bisa dimanipulasi.
Buzzer bekerja lembur di ruang ber-AC,
mengedit wajah protes jadi wajah teroris.
“Bayaran berapa sih?” kata warganet yang baru bangun,
sambil menyeruput kopi literasi instan.


Di gedung parlemen,
semua jendela tertutup seperti mata nurani.
Kursi-kursi empuk menolak mendengar
jeritan sandal jepit dari jalan raya.
Mikrofon hanya aktif saat rapat anggaran,
bisu saat rakyat berbicara.


Teriakan jadi gema dalam algoritma,
tak viral, karena tidak menari atau menyanyi.
Polisi bilang ini untuk ketertiban,
tapi siapa yang tertib saat gaji ditunda?
Siapa yang damai saat perut keroncong
dan harga sayur naik tiap minggu?


Para demonstran ditangkap,
dimasukkan ke dalam mobil yang dulu dibeli pakai pajak mereka.
Pasal-pasal dilempar seperti batu,
tanpa pengacara, tanpa ruang bertanya.
Tapi mereka tertawa,
karena tahu: dipenjara lebih jujur
daripada rapat dengar pendapat.


Kresek-kresek suara dari kantong plastik,
berisi harapan, roti kering, dan surat terbuka.
Ada puisi untuk presiden yang tak pernah sampai,
karena pak pos takut kehilangan tunjangan.
Ada manifesto yang dilipat
menjadi alas duduk saat gas mulai menyebar.


Senja datang tanpa keadilan.
Matahari tenggelam di balik pagar kawat berduri.
Massa pulang dengan kaki lecet
dan kepala penuh utopia yang disangkal.
Tapi esok akan datang lagi,
karena kesedihan tidak bisa dibubarkan
dengan pentungan.

Dan demo itu tetap ada,
di dalam kantong kresek yang dibuang ke tong sampah.
Di bawah lapisan plastik dan sisa nasi basi,
tersembunyi suara-suara
yang tak bisa dibakar
atau ditangkap.
Suara yang terus tumbuh
meski dibungkam.

Mojokerto, 12 Mei 2025

Rakyat di Tikungan Jalan Tol

Kami dibangunkan pagi-pagi oleh truk penggusur.
Tanah warisan berubah jadi peta proyek strategis.
Padi belum sempat panen,
tapi surat pengosongan sudah panen stempel.
Wajah-wajah birokrat tak pernah datang,
hanya suara mesin dan janji relokasi
yang bahkan tidak punya alamat.

Jalan tol membelah sawah seperti takdir,
menghubungkan kota ke kota
dengan melompati kampung.
Kami menyaksikan tiang beton tumbuh
lebih cepat dari tunas jagung.


Dan ketika bertanya: “Kami lewat mana?”
Jawabnya: “Kalian bisa jalan kaki di berita.”

Mobil melaju 140 km per jam,
sementara sepeda kami rusak ditabrak birokrasi.
Bahu jalan dipasangi plang larangan:
Dilarang Mencari Nafkah di Sekitar Proyek.


Tukang cilok diseret karena mengganggu estetika.
Padahal ia hanya ingin uang untuk beli bensin
agar anaknya bisa ke sekolah yang digusur juga.

Jalan tol punya gerbang,
tapi pintu rumah kami dicopot paksa.
Katanya demi pembangunan,
tapi kami malah dibangun jadi korban.


Setiap kendaraan yang lewat,
membawa debu dan dendam
yang belum bisa kami bungkus jadi SPPT.

Kami disuruh bersabar,
karena katanya nanti akan ada rest area.
Tapi rest area bukan untuk kami,
melainkan bagi mereka yang mampu beli bensin
dan sanggup bayar tol pakai saldo dompet digital
yang tak mengenal harga cabai di pasar kami.

Di televisi, menteri tersenyum
di bawah flyover yang kami tangisi.
Presenter menyebut pembangunan ini monumental,
padahal bagi kami, ini monumen pengusiran.
Jalan itu terang benderang,
sementara listrik di gubuk kami
masih pakai sambungan ilegal dari tiang tetangga.

Petani kini menanam trauma,
karena tanahnya bukan milik sendiri.
Sertifikat kepemilikan
dikalahkan oleh surat keputusan dadakan.
Hak atas tanah dibatalkan
oleh kebutuhan efisiensi jalur logistik.

Mereka bicara tentang akses yang lebih cepat,
tapi lupa bahwa kami juga ingin cepat
menuju pasar, menuju rumah sakit,
menuju sekolah tanpa harus menunggu
bus bantuan yang tak kunjung datang.


Jalan tol ini bukan jalan kami,
hanya lintasan untuk yang bisa membayar
harga ketertinggalan kami.

Satu-satunya pekerjaan yang tersisa
adalah menjadi pengibar bendera peringatan
di proyek perluasan jalan tahap dua.


Kami digaji harian,
meski rumah kami sudah hilang bulanan lalu.
Kami menjaga pembangunan
yang tak pernah menjagakan kami.

Dan kami tetap tinggal di tikungan jalan tol,
di bawah jembatan megah yang berdengung tiap jam.


Kami bangun tenda dari baliho kampanye.
Kami masak nasi dari sisa logistik banjir tahun lalu.
Kami menyapa truk-truk ekspor
dengan lambaian pelan
yang tak pernah dianggap ada.

Mojokerto, 12 Mei 2025

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *