ADVERTISEMENT

Lokakarya Cerpen Dwi Bahasa, Kearifan Luhur Dalam Tiga Pilar

Foto Kegiatan Lokakarya Cerpen Dwi Bahasa (Sumber: https://www.instagram.com/p/DQG45EPEuss/?igsh=NnpocGFyejZvN29s)

Di persimpangan horizon kebudayaan Nusantara, bersemayam sebuah kearifan luhur yang terangkum dalam tiga pilar: “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.” Seruan ini bukanlah sekadar slogan, melainkan sebuah filosofi yang menuntut keseimbangan; sebuah panggilan untuk berdiri kokoh di atas akar tradisi seraya merangkul cakrawala dunia, dengan bahasa persatuan sebagai jembatannya.

Filosofi inilah yang menjadi denyut nadi, menjadi roh yang menggerakkan Rumah Baca Loloan untuk mengambil langkah nyata. Sebuah kesadaran kolektif mendorong lembaga ini untuk bertindak.

Maka, pada tanggal 20 hingga 21 Oktober 2025 yang baru saja berlalu, sebuah ikhtiar penting telah ditunaikan. Agenda bertajuk “Lokakarya Penulisan Cerpen Dwi Bahasa, Bahasa Melayu Loloan dan Bahasa Indonesia” bukanlah sekadar pelatihan, melainkan sebuah upaya luhur untuk menjaga apa yang paling fundamental bagi sebuah peradaban: identitas.

Fokus dari ikhtiar ini adalah Loloan, sebuah komunitas unik yang bermukim di jantung Pulau Dewata. Mereka adalah sebuah oase, komunitas Muslim yang denyut kehidupannya sehari-hari diwarnai oleh tutur Bahasa Melayu, hidup dalam harmoni yang dinamis di tengah riuh budaya Bali. Keunikan mereka tak hanya terletak pada eksistensinya, tetapi juga pada khazanah linguistik yang mereka pelihara.

Bahasa Melayu Loloan adalah sebuah permata yang langka. Ia adalah dialek yang telah melalui proses akulturasi panjang, menyerap begitu banyak kosakata dari bahasa Bali, menciptakan sebuah harmoni baru yang tidak dimiliki bahasa Melayu di belahan bumi lainnya. Ia adalah cerminan sejarah, potret perjumpaan dua budaya dalam bingkai yang damai.

Namun, di balik keindahannya, tersimpan sebuah kerumitan yang mengancam kelestariannya.

Inilah paradoks Bahasa Loloan: ia begitu melodius dan mudah dilisankan, mengalir lancar dari generasi ke generasi dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, ketika tiba saatnya untuk menuangkannya ke dalam aksara, ia menjelma menjadi sebuah tantangan besar. Bahasa ini sulit untuk ditulis, dan lebih sulit lagi untuk dibaca dengan akurat oleh mereka yang tidak terbiasa dengan nuansanya.

Akar masalahnya terletak pada vokal-vokal yang ambigu. Pertemuan dengan huruf “E”, “U”, “O”, dan “e” (pepet) adalah sebuah labirin ortografis. Kata yang sama, dengan ejaan yang identik, bisa bermakna ganda, tiga, atau bahkan lebih, tergantung pada bagaimana vokal itu diucapkan—sebuah nuansa yang hilang ketika dibekukan dalam tulisan.

Kerumitan ini nyata dan sehari-hari. Contohnya dapat diambil dari kata Sambel. Dalam satu tarikan napas, ia bisa berarti “sambil” (bersamaan), namun dalam konteks lain, ia merujuk pada “sambal” (saus cabai). Kebingungan yang timbul saat menuliskannya menjadi tak terelakkan. Begitu pula dengan kata Lemet yang bisa bermakna “lambat”, namun dalam intonasi berbeda, ia berarti “lemah”. Kata Keret bisa berarti “kencang”, namun tulisan yang sama persis bisa diartikan sebagai “kikir”. Atau Kenceng yang bisa berarti “kencing”, namun juga bisa berarti “kencang”. Kata-kata seperti Sedeng (sedang) pun turut menambah daftar panjang homograf yang rawan salah tafsir.

Inilah urgensi yang dirasakan oleh Rumah Baca Loloan. Ketika bahasa lisan begitu kaya namun bahasa tulisnya begitu rapuh, ada risiko besar yang mengintai.

Lokakarya Cerpen Dwi Bahasa/Ist

Lokakarya penulisan cerpen dwi bahasa ini menjadi jawaban atas kegelisahan tersebut. Insya Allah, dari rahim lokakarya ini, telah lahir 35 karya berharga. Tiga puluh lima cerita pendek ini lebih dari sekadar kumpulan fiksi; ia adalah artefak kebudayaan. Ia adalah bukti otentik, sebuah rekaman jujur yang memotret kondisi Bahasa Melayu Loloan hari ini.

Karya-karya ini, dengan segala kejujurannya, akan menjadi bukti nyata bahwa bahasa Melayu Loloan yang dikenal hari ini telah banyak bergeser dari generasi ke generasi. Pergeseran ini adalah alarm, sebuah pengingat bahwa jika tidak ada yang bergerak, erosi ini akan berlanjut.

Untuk itu, menjadi sebuah desakan penting bagi komunitas Loloan, khususnya para pegiat di Rumah Baca Loloan, untuk terus berjuang meliterasikan bahasa Melayu Loloan. Ini adalah ikhtiar untuk membekukan waktu, untuk mencatat kearifan lisan ke dalam aksara yang abadi, untuk memberikan warisan tertulis bagi generasi mendatang. Ini adalah perjuangan untuk menjaga identitas.

Sebab, ada sebuah kesadaran kolektif akan kebenaran yang pahit: bahasa adalah rumah bagi identitas. Bahasa adalah DNA sebuah komunitas. Jika bahasa itu punah, jika tutur kata itu lenyap dari peradaban, maka identitasnya pun akan ikut hilang. Sebuah komunitas mungkin masih ada secara fisik, namun jiwanya telah sirna.

Semangat inilah yang akan terus dipelihara. Sebagaimana seruan yang mereka gaungkan: “Setelah LJL, Yuk Lanjut RBL.”

Perjuangan ini tidak dilakukan sendiri. Para inisiator menghaturkan apresiasi mendalam kepada para penjaga gawang kebudayaan dan mitra seperjuangan yang telah mendukung ikhtiar ini:

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Bali, Perpustakaan Umum Jembrana, Kelurahan Loloantimur, Kelurahan Loloan Barat, Kecamatan Jembrana, Disparbud Kabjembrana, Mansa Jembrana, serta MTs Manba’ul Ulum Jembrana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *