ADVERTISEMENT

Kemarin

Aku duduk di sampingnya. Aku mencoba mendengar seperti dia. Tapi yang aku dengar hanya angin dan derik jangkrik. Namun aku tahu maksudnya.

Kemarin, semuanya masih ada. Ladang, pohon apel, bahkan kursi goyang di beranda. Tapi kemarin juga adalah batas. Sebuah garis tak kasat mata antara apa yang pernah ada dan apa yang sebentar lagi tinggal kenangan.

Hari ini, Ayah tidak bangun dari tidurnya.

Ia pergi dengan tenang, dalam posisi telentang seperti sedang memandang langit. Di atas meja ada surat wasiat yang ia tulis dengan tinta tua:

“Biarkan tanah ini tetap berbicara. Kuburkan aku di dekat istrimu. Jangan biarkan suara kami dibungkam oleh rel kereta. Biarkan anak-anakmu kelak tahu, bahwa ada yang lebih berharga dari uang—yakni kenangan yang tumbuh di tanah sendiri.”

Hari ini pemerintah datang dengan alat berat.

Pyotr menyerahkan surat warisan kepada mereka, dan berkata, “Ayah meminta agar ladang ini tetap utuh.”

Mereka tertawa. “Tidak ada yang bisa menghentikan pembangunan, Tuan,” jawab salah satu dari mereka.

Tapi aku berdiri di antara ladang dan mesin itu. Lalu tetangga-tetangga kami datang. Seorang nenek dengan tongkat. Seorang anak dengan layang-layangnya. Seorang pria yang dulu ikut membajak ladang ini bersama Ayah. Mereka berdiri bersamaku, membentuk barisan sunyi di hadapan kemajuan yang tuli.

Dan kemarin, yang bagi orang-orang hanya sebuah hari biasa, menjadi tanda bahwa sesuatu harus dikenang. Bahwa tanah bukan hanya lumpur dan rumput. Ia adalah nisan, doa, keringat, dan cinta yang tak sempat diucapkan.

“Kemarin” bukan tentang waktu, tetapi tentang tempat yang menyimpan jiwa.

Begitulah Ayah pernah berkata. Dan aku mengerti sekarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!