Juet Madu di Bukit Langge

Seraya menanti film Power Rangers di hari libur, Raih memutuskan untuk mengunjungi satu-satunya sahabat yang benar-benar berarti baginya, Hermas. Kedengarannya, seperti dia tak punya teman, padahal ada banyak. Hanya saja, Hermas selalu menempati tempat tersendiri, lebih dekat di hatinya.
Raih belum pernah mau menyeberangi sungai Reong, apalagi melewati rumput teki, sampah hanyut, dan tebing yang bisa saja runtuh sewaktu-waktu. Namun demi Hermas, perjalanan itu selalu terasa layak.
Dia sempat berhenti beberapa kali, menimbang untuk kembali ke rumah. Sungai itu kelam, lembab, dan berbau tanah basah yang menyesakkan. Tapi mengingat Hermas, keengganan itu perlahan hilang.
“Sudah, lanjut saja,” gumamnya.
Saat melompat ke seberang, mata kakinya seketika tenggelam di antara daun berora yang berguguran.
“Aah, tidaaak… wuuuuh,” gerutunya sambil berjalan setengah berlari.
Begitu sampai di bawah rumah Hermas, jalannya jauh lebih baik, hanya berserakan beberapa ranting pohon asam.
Pada akhirnya mereka bertemu. Seperti biasa, salaman dilakukan dengan cara yang khas, tangan diselipkan ke bawah ketiak lalu dijabat erat.
Hermas tampak tidak bersemangat melakukan apa pun hari itu. Mereka hanya duduk di atas potongan batang jambu mente. Raih menahan kecewa, lalu mengajak Hermas menaiki bukit Langge.
Kebetulan saat itu menunjukkan pukul 08.00 WITA. Waktu terbaik untuk melihat Rinjani keluar sebelum kembali tersembunyi oleh cahaya matahari.
Teman-teman sebaya mereka mungkin sedang bermain tembak jalan atau membuat layang-layang. Tapi Raih dan Hermas selalu melakukan hal yang lain dari biasanya.
“Kita memang legend,” ujar Hermas sambil tersenyum.
*****
Sesampainya di puncak, mereka duduk di bawah satu-satunya pohon jambu mente di bukit itu. Pemandangan Rinjani tampak begitu dekat, seolah hanya mereka berdua yang diberi kesempatan melihatnya.
“Kita sahabat,” kata Raih sambil menepuk lengan Hermas.
Beberapa teman mungkin menganggap mereka berlebihan, bahkan dulu sering bercanda memanggil temannya sebagai “pacar saya”. Tapi bagi Raih, persahabatan mereka jauh dari pikiran aneh-aneh. Mereka hanya dua anak kecil yang belum mengenal cinta, tetapi sangat memahami arti kebersamaan.
Ketika Rinjani mulai hilang, mata Raih tertuju pada deretan pohon bantenan. Di ujungnya berdiri pohon Juet yang tampaknya sedang berbuah ranum. Suara burung trucukan terdengar ramai.
“Hermas! Cepat!” Teriak Raih sambil berlari.
Mereka tertawa sambil berlari kencang tanpa memedulikan ranting yang mengenai kaki. Raih memetik buah Juet pertama, tertawa lepas karena mendapatkan bagian paling ranum.
“Hahaha! Aku dapat!”
Hermas memanjat pohon itu hingga ke ujung tertinggi. Ia merasakan buahnya satu per satu.
“Kitalah orang pertama yang mencicipi Juet ini, Raih. Ini Juet ternikmat yang pernah kita temui.”
Raih mengangguk, baru menyadari betapa manisnya Juet itu, manis seperti gula di rumahnya, bahkan lebih dari madu.
“Raih, kita namai ini Juet Madu,” seru Hermas dari atas dahan.
Nama itu langsung meresap di hati Raih.
Dengan perut kenyang, mereka turun meninggalkan pohon itu, sepakat bahwa Juet Madu adalah rahasia mereka berdua.
“Megazord, datanglah!” Seru Raih. Itu kode ajakan pulang. Power Rangers akan segera mulai, dan Suman pasti sudah menyalakan televisi.
Mereka menuruni bukit dengan kaki kanan dan kiri yang selalu berbarengan. Jika salah satu salah langkah, yang lain ikut menyesuaikan. Begitulah persahabatan mereka, menyamakan irama tanpa diminta.
******
Sesampainya di rumah Suman, Rido sudah berteriak dari teras.
“Raih! Hermas! Cepat! Power Rangers mau mulai!”
Suara televisi dikeraskan. Mereka duduk bersila di depan jendela yang sudah dibuka, menyelipkan kepala ke dalam dan menopang dagu di terali besi.
Power Rangers pun dimulai. Ranger hitam terjebak dalam lonceng, dan Ranger putih datang menyelamatkan. Dunia mereka hanya penuh tawa, petualangan kecil, buah Juet Madu, dan persahabatan yang tulus.
Ketika siang mulai ramai, suara orang tua memanggil dari kejauhan. Itu tanda untuk pulang. Mereka mengangguk satu sama lain, menarik kepala dari jendela, lalu memberi salam khas tangan di bawah ketiak.
Editor: Muhammad Farhan Azizi