Balai Pikir – Seluruh warga negara Indonesia mendengar kabar duka dari kompleks perkantoran Bank Indonesia (BI) pada Senin, 26 Mei 2025, lalu. Salah satu pegawai BI dikabarkan bunuh diri dengan melompat dari lantai 15.

Terlepas dari apapun permasalahan yang menjadi alasan bunuh diri pada kasus ini. Niscaya tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menjadikan kasus ini–secara parsial–sebagai bahan bahasan. Tidak lain, tulisan ini bermaksud membahas kasus bunuh diri secara umum.

Mendengar kata “bunuh diri” mengingatkan kita pada aliran filsafat absurdisme Albert Camus, seorang filsuf yang lebih ingin disebut esais. Camus dan absurdisme menjadi bagian tidak terpisahkan. Sebagian besar karya-karya Camus merepresentasikan pemikirannya terkait absurdisme.

Camus dengan absurdismenya meyakini bahwa kehidupan manusia tak akan pernah mempunyai makna inherent. Manusia secara alami akan terus-menerus mencari makna, tetapi alam semesta tidak pernah menyediakan makna tersebut.

Kita tidak pernah membayangkan akan hidup sekadar untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang. Akan tetapi, hal itu membuat kita bahagia. Seperti itulah kenyataan Sisifus, tokoh dalam novel Le mythe de Sisyphe karya Camus, seorang dewa yang dikutuk Zues untuk mendorong batu karang ke atas gunung seumur hidup. Meski sebuah pekerjaan yang sia-sia, karena batu itu pasti akan jatuh ke bawah lagi, tetapi Sisifus pasti bahagia. 

Camus, yang dilabeli sebagai seorang filsuf moral oleh Sartre pada era revolusi Aljazair, dan novelnya diserang habis-habisan sebagai karya sastra yang terlalu terjebak pada argumen filsafat moral, sangat tidak setuju atas penjajahan.

Sebagai orang yang sadar akan kematian sejak kecil karena TBC, ia sangat benci penjajahan. Penjajahan sama sekali bukanlah perbuatan untuk kepentingan golongan. Penjajahan adalah cara paradoks untuk mendapatkan kekuasaan.

Camus tidak pernah menemukan alasan, mengapa seorang manusia harus melakukan hidup untuk memenuhi kehendak orang lain atau dijajah. Sehingga, meski berkebangsaan Prancis, ia ikut serta dalam revolusi Aljazair bukan untuk mendukung Prancis, tetapi Aljazair.

Manusia seyogyanya hidup untuk diri sendiri. Makan, minum, tidur, bangun, dan kegiatan hidup lainnya, harus dilakukan sendiri, tidak bisa diwakilkan–dilakukan sendiri dan untuk diri sendiri.

Contohnya Pak Tasripan, salah seorang bapak berusia senja di Sidoarjo. Ia hidup sendiri di pinggir sawah di dalam gubuk kumuh. Hanya bermodalkan sepeda ontel ia menjalani kehidupan sehari-hari dengan memulung rongsokan, kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, dan lainnya. 

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *