Lee Woon-jae: Legenda dari Korea dan Jalannya Menuju Islam
Ketika bicara sepak bola Korea Selatan, nama-nama besar segera muncul: Park Ji-sung, Cha Bum-kun, Ki Sung-yueng, Son Heung-min, hingga bintang muda Lee Kang-in. Namun, ada satu nama yang perlahan memudar dalam ingatan publik: Lee Woon-jae.
Ia memang bukan striker flamboyan atau gelandang kreatif. Lee adalah kiper—posisi yang jarang mendapat sorotan kecuali saat melakukan kesalahan fatal. Ditambah lagi, berbeda dengan kompatriotnya, ia tak pernah bermain di Eropa. Barangkali itulah sebabnya ia tak lagi sering diperbincangkan.
Padahal, tanpa Lee Woon-jae, kisah Korea Selatan di Piala Dunia 2002 mungkin tak pernah seheroik itu.
Pahlawan di Balik Kejutan Korea Selatan
Piala Dunia 2002 menjadi panggung terbesar dalam kariernya. Di babak 16 besar, ia menjadi tembok terakhir yang meruntuhkan Italia. Enam penyelamatan ia buat malam itu, termasuk menahan sepakan Damiano Tommasi dan Gennaro Gattuso.
Di perempat final melawan Spanyol, perannya kembali vital. Dalam adu penalti yang menegangkan, Lee sukses menggagalkan eksekusi Joaquin Sanchez. Korea pun melaju ke semifinal—sebuah pencapaian yang belum pernah terulang hingga kini.
Sorak sorai rakyat Korea membahana. Tawaran dari klub Jerman dan Belanda datang bertubi-tubi. Namun Lee menolak. Bukan karena takut bersaing, melainkan karena enggan jauh dari keluarga.
“Dia sangat mencintai keluarganya, dan saya sangat menghargai itu. Maka dari itu saya menyukainya,” kenang Guus Hiddink, pelatih Korea Selatan kala itu.
Setia pada Negeri Sendiri
Lee menghabiskan hampir seluruh karier klubnya di Korea Selatan. Namanya lekat dengan Suwon Bluewings, klub yang ia persembahkan sembilan trofi. Julukan Spider Hand pun melekat berkat rekor adu penaltinya yang luar biasa: 11 kemenangan dari 12 adu penalti di K-League.
Di level internasional, Lee juga mencatat rekor membanggakan: kiper Korea pertama yang tampil di empat Piala Dunia berbeda (1994, 2002, 2006, 2010).
Perjalanan itu tak selalu mulus. Ia absen di Piala Dunia 1998 karena TBC dan hepatitis akut yang membuat kariernya sempat terhenti tiga tahun. Namun ia bangkit, dan kembali menjadi salah satu legenda hidup sepak bola Asia.
Jejak Iman yang Tak Banyak Tersorot
Jika di lapangan Lee dikenal sebagai Spider Hand, di luar lapangan ia punya kisah yang lebih sunyi. Pada 2004, hatinya terketuk untuk mendalami Islam. Setahun kemudian, ia resmi menjadi mualaf.
Tak ada pengumuman besar. Tak ada liputan media. Hanya kabar samar dari mereka yang masih mengingat.
Langkah itu dianggap aneh oleh sebagian orang. Namun bagi Lee, mungkin justru di sanalah ia menemukan arah sejati—sebuah arah yang tidak bisa diukur papan skor ataupun sorakan stadion.
Meski begitu, ia tidak pernah mengumbar identitas barunya. “Agama hanya antara saya dan Tuhan,” begitu prinsipnya.
“Saya menjalani hidup seperti biasa. Tidak ada yang berbeda dalam diri saya yang dulu dan sekarang. Semua orang tetap memperlakukan saya dengan cara yang sama, saya juga melihat mereka dengan cara yang sama,” ucapnya dalam sebuah wawancara.
Lee Woon-jae mungkin tak setenar Son Heung-min atau Park Ji-sung. Ia juga tak memiliki jejak karier di Eropa. Namun, sejarah sepak bola Korea Selatan akan selalu menaruh namanya di halaman emas.
Ia adalah pahlawan sunyi, kiper yang memilih setia pada keluarga, setia pada tanah kelahiran, dan pada akhirnya setia pada jalan iman yang diyakininya.
Legenda sejati tak selalu muncul dari sorot lampu stadion. Kadang, ia hadir dari kesunyian.
Editor: Andi Surianto
Legend ini