
Negara di Ujung Sendok Plastik
Di kantin kementerian, sendok plastik menjadi saksi,
bagaimana anggaran diseruput perlahan seperti sup.
Rakyat hanya mencium aromanya dari layar kaca,
sementara meja pejabat penuh santapan bersubsidi.
Daging dalam mangkuk, sayur dalam presentasi,
dan nasi ditanak bersama proposal bantuan.
Tak ada yang hangus kecuali akal sehat.
Anak sekolah membawa bekal dari lembar penghematan,
lauk: harapan dan kecap manis hibah tetangga.
Kepala sekolah tersenyum dalam baliho ucapan selamat,
padahal genteng bocor dan guru honorer hilang kabar.
Mereka belajar tentang keadilan dalam pelajaran PPKn,
tapi tak ada bab tentang lobi proyek dan markup gizi.
Televisi menyajikan grafik: angka gizi naik tajam,
di studio yang dinginnya setara dengan kulkas subsidi.
“Negara sudah berhasil,” kata narator,
padahal di desa sebelah, bayi-bayi menangis lapar.
Sendok plastik berganti-ganti,
tapi rasa pahit tetap sama.
Ibu rumah tangga mengaduk bubur dari beras bantuan,
yang baunya seperti kutipan undang-undang korupsi.
Ia berkata pada anaknya: “Makanlah, ini hasil demokrasi.”
Dan si kecil bertanya, “Kenapa demokrasi rasanya hambar?”
Tak ada yang menjawab,
karena dapur tak disambungkan ke sinyal parlemen.
Di restoran mewah gedung negara,
ada menu ‘program percepatan’ dan ‘paket penanggulangan’.
Hidangan itu dibumbui kata ‘transparansi’,
tapi hanya bisa dibaca jika kau punya lencana.
Di luar pagar, rakyat mengintip seperti kucing kurus,
menduga-duga aroma keadilan
yang dipesan dengan anggaran rapat.
Tiap sendok yang terangkat,
mengikis sedikit dari dana operasional posyandu.
Tiap gelas yang diteguk,
menguapkan anggaran peningkatan gizi balita.
Dan tiap tawa di meja makan,
menjadi suara sumbang di toa masjid yang retak.
“Ini bukan korupsi,” kata juru bicara.
“Ini hanya optimalisasi nutrisi pada level kebijakan.”
Publik pun diberi brosur berisi infografis lucu,
dengan ikon anak bahagia dan ibu tersenyum.
Tapi di balik foto stok itu,
ada petani yang gagal panen karena bansos tak turun.
Dan sendok plastik itu terus digunakan,
karena tak ada yang sanggup mencuci piring keadilan.
Ia ringan, sekali pakai,
dan sangat cocok untuk sistem yang gampang dibuang.
Di dasar mangkuk kosong,
tersisa minyak dan diam.
Dan itulah rasa paling jujur
dari sebuah bangsa yang kenyang oleh dalih.
Mojokerto, 12 Mei 2025
Tuhan Pindah ke Mal
Doa kini dibungkus plastik bening
dan dijual dalam rak promosi akhir pekan.
Lafal suci tergantung di antara gantungan baju,
diskon 50% untuk pembeli yang khusyuk.
Tuhan, katanya, sudah membuka cabang
di seluruh pusat perbelanjaan ibukota.
Langit dijual dalam ukuran XL.
Masjid masih berdiri,
tapi saf-nya bergeser ke antrean kasir.
Imam bersaing suara dengan lagu Natal bulan Oktober.
Mimbar ditiup angin pendingin ruangan.
“Salam sejahtera,”
ucap pramuniaga yang sudah hafal kitab digital.
Tuhan kini terdaftar sebagai pemegang saham mayoritas.
Ia ikut rapat evaluasi profit spiritual per kuartal.
Doa-doa dicetak massal,
dengan font yang ramah di mata konsumen.
Syafaat bisa dipesan lewat aplikasi.
Gratis ongkir dengan kode promo: “IMAN2025”.
Anak-anak diajarkan rukun iman
melalui katalog loyalty card.
Neraka jadi istilah untuk barang sold out.
Surga adalah food court di lantai dua
dengan sajian halal bersertifikat perusahaan.
Dan mukjizat?
Sekarang tergantung rating pelanggan.
Azan terdengar samar di speaker toko elektronik.
Tertutup iklan cuci gudang.
Waktu salat bersaing dengan jadwal flash sale.
Seorang ibu menggandeng anaknya
melewati etalase yang memajang kesalehan
dalam bentuk sepatu berlabel spiritual.
Tuhan tidak marah,
beliau justru mengisi survey kepuasan layanan.
Tiap pengunjung bisa menukar pahala
dengan struk belanja yang tidak diremas.
Al-Qur’an dijilid dalam hardcover elegan,
dengan bonus tasbih dan token syurga 100 poin.
Sorga dan neraka kini dibedakan
berdasarkan jenis kartu member.
Platinum?
Anda bisa parkir di dekat pintu akhirat.
Silver?
Naik eskalator sambil merenungkan dosa cicilan.
Orang-orang tak lagi sujud,
mereka berlutut memilih harga terendah.
Doa bergema di ruang fitting room,
di mana tubuh berdiri telanjang
di hadapan cermin palsu dan lampu pencitraan.
Tak ada yang sungguh ingin disucikan,
asal bisa ditag dan direpost.
Ketika kiamat datang,
lampu mal hanya berkedip sedikit.
Pelayan menutup rolling door dengan santai.
Manekin pun tak berubah wajah.
Yang berubah hanya jumlah pengunjung
dan algoritma promosi kehidupan setelah mati.
Dan Tuhan pun memutuskan tutup cabang.
Beliau bosan diskon iman tiap minggu.
Banyak yang datang hanya untuk selfie di surga palsu,
tanpa pernah tahu
bahwa doa yang paling tulus
tak bisa dicicil lewat kartu kredit.
Mojokerto, 12 Mei 2025
Wabah yang Disponsori
Batukmu kini bagian dari perencanaan nasional.
Pilekmu tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah.
Suhu tubuhmu dipantau oleh algoritma tender.
Gejala jadi komoditas,
dan penyembuhan—izin ekspor data pasien.
Wabah tak datang tiba-tiba,
ia diundang lewat surat edaran.
Masker dibagikan bersama stiker partai.
Hand sanitizer beraroma birokrasi.
Setiap rapid test adalah peluang
untuk menyedot dana taktis tak kasat mata.
Kesehatan berubah jadi logistik kampanye.
Dan rumah sakit dipenuhi pamflet visi-misi.
Para ahli bicara di layar,
tapi keputusan diambil oleh yang punya saham.
“Ikuti protokol!” kata pejabat,
yang selfie saat vaksin tanpa antre.
Sementara rakyat mengantre vaksin
seperti mengantre sembako pada hari keadilan tiba-tiba.
Pemerintah mencetak statistik
seperti mencetak tiket konser:
cepat, penuh markup, dan mudah hilang makna.
Grafik naik dianggap prestasi,
turun dianggap hasil kerja keras,
dan stagnan disebut stabilitas nasional.
Satu orang batuk di gang sempit,
seribu aparat datang membawa spanduk.
“Kami peduli!” katanya sambil memotret penderitaan.
Pasien jadi konten berita,
sakit jadi peluang branding,
dan kematian jadi alasan reshuffle.
Ruang isolasi kini punya sponsor.
Tempat tidur pasien ditempeli logo.
Infusmu didanai oleh BUMN.
Dan ventilator dipasang barcode promo.
Suster mencatat tekanan darah
sambil menjawab telepon dari pemegang saham.
Satgas Wabah bersidang di hotel bintang lima.
Mereka mendiskusikan penderitaan
sambil mengunyah salad dari dana operasional.
Di luar, warga menunggu hasil tes
di bawah tenda yang dipasang tergesa,
karena tenda satunya disewa untuk festival kementerian.
Anak-anak belajar dari rumah,
tapi kuota hanya cukup untuk satu video hoaks.
Guru mengajar lewat layar pecah,
sementara sinyal bersembunyi di balik janji infrastruktur.
Sertifikat vaksin dijadikan tiket
untuk membeli keadilan di gerai terdekat.
Kematian diatur dalam regulasi darurat.
Peti mati dibungkus plastik bergambar pahlawan.
Keluarga hanya bisa menangis lewat Zoom.
Dan setiap angka korban
diolah jadi tabel progress capaian.
Akhirnya wabah surut,
tapi yang pulih hanya neraca anggaran.
Rakyat tetap batuk,
meski sponsor sudah berganti produk.
Dan di meja pejabat,
tinggal tersisa kotak masker kosong
dan selembar laporan pencapaian
yang sudah kedaluwarsa sebelum ditandatangani.
Mojokerto, 12 Mei 2025