
Balai Pikir – Ada berita menggembirakan dari kawasan yang biasanya lebih sering kita dengar karena suara bom dan sirene ketimbang musik akustik atau ceramah Gus Baha. Iran, negara yang selama 12 hari terakhir sibuk adu rudal dengan Israel, akhirnya buka suara—eh, buka udara maksudnya.
Tepatnya, sebagian wilayah udara di bagian timur negara itu resmi dibuka kembali buat lalu lintas penerbangan. Yah, minimal burung besi bisa terbang lagi tanpa risiko disapa misil. Bandara Mashhad, yang sempat jadi korban serangan Israel (menurut Iran, ya), sudah kembali aktif. Selain Mashhad, ada Chabahar, Zahedan, dan Jask yang ikutan buka.
Jangan senang dulu. Ini baru sebagian. Teheran dan kota-kota lainnya masih dikunci rapat kayak hati mantan yang belum bisa move on. Iran bilang, “Tunggu pengumuman selanjutnya, bestie.” Dan seperti biasa, tiap pengumuman di Timur Tengah itu bisa berarti: besok, minggu depan, atau kalau Tuhan mengizinkan.
Konflik ini sendiri—buat kamu yang sibuk nonton sinetron atau maraton drama Korea—bermula dari tanggal 13 Juni lalu. Israel ngegas duluan, Iran nggak mau kalah, terus ya sudah, jadilah adu rudal 12 hari 12 malam. Bedanya sama sinetron Ramadan, di sini nggak ada tokoh tobat. Semua keras kepala. Sama-sama merasa paling benar, paling sah berkuasa, dan paling saleh dalam berperang.
Lalu datanglah tanggal 24 Juni. Gencatan senjata. Sebuah kata yang cantik di atas kertas, tapi sering kali cuma berarti: “Yuk, istirahat dulu, nanti lanjut lagi kalau mood perang balik.” Ini kayak mantan toxic yang ngajak balikan tapi masih punya password akun medsos kamu.
Iran dan Israel sama-sama ngaku menang. Dan seperti dalam semua pertengkaran pasangan, dua-duanya ngotot merasa paling benar. Israel bilang pasukan komandonya udah nyusup ke wilayah Iran. Iran? Masih diem. Mungkin lagi sibuk ngitung rudal atau lagi nyari sinyal buat klarifikasi.
Kepala staf militer Israel, Eyal Zamir, ngomong dengan bangga bahwa pasukannya “beroperasi secara rahasia jauh di dalam wilayah musuh.” Ini klaim yang cukup bikin senewen. Soalnya, kalau benar, ini bukan cuma soal serangan udara. Ini udah masuk ke level: “Bro, rumah kamu udah aku datengin, tapi kamu nggak tahu.” Serem, tapi juga sarkastik. Kayak ngaku udah masuk rumah orang, tapi tetap bisa bilang itu tindakan defensif.
Sekarang kita balik ke pembukaan wilayah udara tadi.
Langkah ini tentu bisa dimaknai sebagai sinyal positif. Ya, minimal dunia internasional bisa bilang, “Alhamdulillah, ada sedikit kabar baik dari kalian.” Tapi ya itu tadi, gencatan senjata di kawasan ini kadang lebih mirip jeda iklan daripada akhir episode. Nanti juga balik lagi ke konflik. Udah kayak FTV tema “Cinta Lama Bersemi di Medan Perang.”
Dan jangan salah. Meskipun langit timur Iran dibuka, langit hati rakyatnya belum tentu. Trauma perang itu susah hilang, Bung. Anak-anak yang seminggu lalu tidur di bawah meja karena takut suara rudal, nggak bisa serta-merta percaya kalau mendadak “semua aman.” Butuh waktu. Butuh keyakinan. Dan tentu saja, butuh pemimpin yang bisa menahan ego.
Tapi di sinilah problemnya. Timur Tengah itu, dalam banyak hal, seperti sinetron yang nggak pernah tamat. Aktornya gantian, sutradaranya kadang ganti genre, tapi konfliknya itu-itu saja. Palestina, Suriah, Iran-Israel, dan seterusnya. Dan kita, para penonton global, cuma bisa komentar: “Eh ini episode ke berapa sih?”
Gencatan senjata ini mestinya jadi titik balik. Tapi kok ya kita skeptis. Sebab biasanya yang damai di atas kertas, tetap perang di lapangan. Apalagi kalau masing-masing masih sibuk update status kemenangan. Padahal, siapa yang menang kalau rumah hancur, bandara rusak, dan rakyat sipil trauma?
Narasi kemenangan ini sebenarnya absurd. Kayak berantem di jalan, mobil dua-duanya ringsek, terus dua-duanya bilang, “Gue menang, Bro!” Ya menang apanya? Yang ada malah kalah sama akal sehat.
Tapi mungkin ini memang bagian dari dunia politik. Bahwa menang bukan soal hasil, tapi soal siapa yang paling kenceng ngomong. Iran klaim balas dendam sudah tuntas. Israel bilang pasukan mereka superior. Rakyat? Cuma bisa bilang: “Yang penting bensin nggak naik lagi.”
Jadi, kalau kamu baca berita “Iran buka sebagian wilayah udara,” jangan buru-buru bilang ini tanda damai. Bisa iya, bisa juga sekadar “cooldown” sebelum next level dimulai. Persis kayak gamer yang habis pake skill ulti dan lagi nunggu CD-nya habis.
Untuk sekarang, kita doakan saja semoga bandara-bandara yang sudah buka bisa benar-benar aman, dan tidak jadi target berikutnya. Dan semoga langit yang mulai terbuka bisa membawa kabar baik, bukan ledakan berikutnya.
Sebab, di balik segala kerumitan geopolitik dan ego negara, yang selalu jadi korban adalah mereka yang nggak punya pilihan: rakyat biasa.
Yang cuma ingin hidup damai. Dan terbang, bukan karena menghindari bom, tapi karena ingin liburan.
Kalau kamu baru baca sampai sini dan masih bingung siapa yang sebenarnya menang dalam perang ini, selamat, kamu sudah sampai pada pencerahan sejati: nggak ada yang benar-benar menang dalam perang. Yang ada cuma kerugian, trauma, dan utang rekonstruksi.
Dan itu, bro, lebih menyakitkan dari ghosting.
Penulis: Muhammad Farhan Azizi