ADVERTISEMENT

Urgensi Pendidikan Pembebasan di Indonesia

Urgensi pendidikan berbasis pembebasan yang tidak terikat sekolah formal sangat nyata. Model ini relevan untuk membangun manusia abad 21.

Pendidikan Pembebasan
Ilustrasi Belajar Tanpa Batas: Urgensi Pendidikan Pembebasan di Indonesia

Pendidikan sering dipahami sebagai proses formal yang terjadi di sekolah. Namun, Paulo Freire mengkritik pandangan ini melalui konsep “banking education”, di mana murid diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi guru. Dalam model tradisional ini, kreativitas dan partisipasi aktif peserta didik seringkali diabaikan. Freire menekankan pentingnya murid menjadi subjek aktif, belajar melalui dialog, refleksi, dan keterlibatan dalam membangun pengetahuan mereka sendiri (Norvaizi, L., & Sulistri, 2021). Konsep ini membuka pandangan baru: pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan sekadar mekanisme transfer informasi.

Di Indonesia, reinterpretasi pemikiran Freire menjadi penting karena keragaman sosial, budaya, dan geografis yang sangat luas. Kajian “Pendidikan yang Membebaskan: Sebuah Reinterpretasi Filsafat Pendidikan Paulo Freire” menegaskan bahwa prinsip pendidikan pembebasan harus disesuaikan dengan dinamika lokal agar relevan dan efektif (Reni, S., Asbari, M., & Ramadhan, M. B., 2024). Artinya, pendidikan tidak bisa dipaksakan secara homogen, melainkan harus merespons kebutuhan, konteks, dan potensi unik peserta didik.

Paradigma pendidikan berbasis pembebasan membuka ruang belajar yang tidak terikat sekolah formal, waktu, maupun kurikulum baku. Fleksibilitas ini memungkinkan berbagai aktor—guru, orang tua, dan komunitas—untuk ikut berperan dalam proses pendidikan. Sistem sekolah formal di Indonesia cenderung homogen, berfokus pada standar nasional, dan menggunakan pola evaluasi seragam yang dapat membatasi kreativitas siswa. Penelitian yang dilakukan Husein, Muhammad Sandi and Susanti, Anik (2023) menunjukkan pendekatan ini sering mengabaikan konteks lokal dan keunikan individu, sehingga potensi murid tidak berkembang secara optimal.

Metode pendidikan alternatif menunjukkan keunggulan pendekatan kontekstual dan dialogis. Siswa diajak belajar melalui pengalaman nyata, proyek kreatif, dan refleksi. Jalur non-sekolah bukan sekadar pelengkap, melainkan alternatif yang mampu menjangkau anak-anak yang sering terpinggirkan karena kondisi sosial, ekonomi, maupun geografis (Reni, S., Asbari, M., & Ramadhan, 2024; Yusuf, 2024). Misalnya, anak-anak dari daerah terpencil atau keluarga berpenghasilan rendah bisa mendapatkan pengalaman belajar yang relevan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sekolah formal.

Fleksibilitas menjadi kekuatan utama pendidikan berbasis pembebasan. Murid dapat belajar di mana saja, kapan saja, dan menyesuaikan pembelajaran dengan minat serta konteks mereka. PKBM Madani Hebat dan PKBM Sanggar Anak Alam (SALAM) menunjukkan model ini bisa diterapkan secara inklusif, menekankan pengembangan kreativitas, berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan masalah (Robianti, D., Nasution, R., & Hartono, B., 2019; Husein dan Susanti, 2023). Hal ini membuktikan bahwa pendidikan non-sekolah dapat berjalan efektif, selama pendekatannya memperhatikan keunikan masing-masing siswa.

Selain itu, pendidikan berbasis pembebasan menekankan pembelajaran seumur hidup. Murid belajar bukan hanya untuk lulus ujian, tetapi untuk memahami diri sendiri, mengembangkan potensi, dan berkontribusi pada masyarakat. Kebijakan nasional “Merdeka Belajar” juga mencerminkan upaya membuka ruang fleksibilitas, yang sejalan dengan prinsip pendidikan pembebasan (Siswadi, G. & Murtiningsih, 2024). Fleksibilitas ini memungkinkan siswa mengatur ritme belajar sesuai kemampuan, minat, dan kebutuhan mereka, sehingga proses pendidikan lebih bermakna dan relevan.

Peran guru dalam model pembebasan berubah signifikan. Guru bukan lagi sekadar pengajar yang mentransfer pengetahuan, tetapi menjadi pendamping dialogis yang menghargai perspektif siswa (Salim Hani & Ilham, 2021). Guru memfasilitasi proses belajar, membantu murid menemukan jawaban sendiri, dan mendorong berpikir kritis. Lingkungan belajar non-formal juga menjadi mitra penting. Pengalaman nyata di komunitas, alam, atau tempat kerja menyediakan konteks yang relevan bagi pembelajaran, sehingga siswa dapat mengaitkan teori dengan praktik.

Metode pembelajaran yang fleksibel menjadi ciri lain pendidikan berbasis pembebasan. Pembelajaran dapat berbasis proyek, pengalaman, dan dialog. Evaluasi pun bersifat variatif: melalui portofolio, proyek, refleksi diri, maupun peer assessment. Pendekatan ini memungkinkan siswa menunjukkan kompetensi mereka secara lebih kreatif dibandingkan ujian standar. Penilaian tidak lagi hanya sekadar mengukur kemampuan mengingat, tetapi juga menilai keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi.

Pendidikan pembebasan juga menekankan transformasi sosial. Siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi diajak memaknai, memahami, dan membangun pengetahuan mereka sendiri (Siswadi, G., & Murtiningsih, R., 2024). Model ini menanamkan nilai demokrasi dan kesadaran kritis sejak dini, sehingga generasi muda menjadi lebih mandiri dalam berpikir dan bertindak. Motivasi belajar meningkat ketika pembelajaran relevan dan memberi kebebasan. Sistem yang kaku justru dapat menimbulkan siswa pasif dan kehilangan minat belajar.

Peran teknologi digital semakin penting dalam pendidikan non-sekolah. Digitalisasi memperluas akses, memberikan fleksibilitas waktu, dan memperkaya metode belajar. Dengan bantuan platform daring, siswa bisa mengikuti kelas virtual, mengakses materi dari berbagai sumber, dan terlibat dalam diskusi lintas wilayah. Keterlibatan orang tua dan komunitas terbukti signifikan dalam keberhasilan pendidikan alternatif. Penelitian di PKBM Madani Hebat menunjukkan bahwa dukungan keluarga berpengaruh besar terhadap motivasi dan keberhasilan belajar siswa (Robianti, D., Nasution, R., & Hartono, B, 2019).

Meski menjanjikan, pendidikan non-sekolah menghadapi berbagai tantangan. Regulasi dan pengakuan legal masih terbatas. Tanpa pengakuan resmi, lulusan jalur non-sekolah menghadapi hambatan dalam melanjutkan pendidikan atau memasuki dunia kerja. Pendanaan menjadi isu lain yang krusial. Model alternatif membutuhkan sumber daya dan dukungan komunitas, sementara alokasi anggaran lebih banyak diberikan kepada sekolah formal (Rahman, A., & Nasihin, A., 2020). Persepsi masyarakat juga menjadi hambatan, karena sekolah formal masih dianggap jalur utama pendidikan yang sah.

Sinergi antara teori dan praktik menjadi kunci keberhasilan pendidikan berbasis pembebasan. Banyak kajian teoritik tentang Freire dan penelitian empiris di Indonesia telah menguji implementasi model ini. Hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan pembebasan mampu mencetak generasi yang kreatif, kritis, dan partisipatif. Model non-sekolah tidak untuk menggantikan sekolah formal, tetapi melengkapinya. Dengan integrasi yang tepat, sistem pendidikan bisa menjadi lebih inklusif, adaptif, dan responsif terhadap kebutuhan abad 21.

Dampak jangka panjang dari pendidikan pembebasan sangat signifikan. Generasi yang terbiasa belajar secara aktif, kritis, dan kontekstual akan lebih mampu menghadapi tantangan global, berinovasi, dan ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Anak-anak yang memiliki pengalaman belajar fleksibel juga cenderung lebih mandiri dan mampu mengatasi ketidakadilan sosial. Pendidikan ini tidak hanya membentuk intelektual, tetapi juga karakter dan kesadaran sosial.

Pendidikan berbasis pembebasan menghadirkan model belajar yang kontekstual, relevan, dan manusiawi. Anak-anak belajar sesuai minat, konteks sosial, dan budaya mereka. Fleksibilitas kurikulum memungkinkan siswa mengeksplorasi potensi unik mereka, tanpa dibatasi standar homogen. Evaluasi yang bervariasi memberi ruang bagi siswa menunjukkan kompetensi dalam berbagai bentuk. Pendekatan ini juga meningkatkan keterlibatan orang tua dan komunitas, membangun sinergi antara rumah, sekolah, dan masyarakat.

Kebijakan nasional yang mendukung pendidikan berbasis pembebasan perlu diarahkan pada beberapa hal: pengakuan legal jalur non-formal, dukungan anggaran, pelatihan fasilitator, kolaborasi komunitas, dan evaluasi fleksibel. Riset lanjutan perlu mengeksplorasi studi kasus di berbagai daerah, menilai hasil belajar, pengembangan karakter, serta menemukan cara mengintegrasikan pendidikan non-sekolah dengan sekolah formal.

Dengan demikian, urgensi pendidikan berbasis pembebasan yang tidak terikat sekolah formal sangat nyata. Model ini fleksibel, adaptif, kontekstual, dan relevan untuk membangun manusia abad 21. Pendidikan non-sekolah bukan menggantikan formal, tetapi melengkapinya. Ia memberi kesempatan bagi semua anak untuk belajar sesuai kebutuhan, minat, dan konteks mereka. Pendidikan berbasis pembebasan menyiapkan generasi kreatif, kritis, dan partisipatif—generasi yang siap menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas lokal.

Kesimpulannya, pendidikan berbasis pembebasan di Indonesia bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan strategis. Fleksibilitas, relevansi, dan inklusivitas menjadi kunci agar pendidikan mampu mencetak manusia yang berdaya, sadar sosial, dan kreatif. Dengan dukungan kebijakan, komunitas, dan inovasi, model ini dapat menjadi fondasi pendidikan abad 21 yang sejati: belajar tanpa batas, membebaskan, dan memberdayakan setiap individu.

Daftar Rujukan:

  1. Husein, Muhammad Sandi and Susanti, Anik. (2023). Penyelenggaraan Pendidikan yang Membebaskan di PKBM Sanggar Anak Alam (SALAM). Sarjana thesis, Universitas Brawijaya. https://repository.ub.ac.id/id/eprint/217741/
  2. Norvaizi, L., & Sulistri. (2021). Pendidikan Pembebasan Perspektif Paulo Freire. Journal of Education and Islamic Studies, 1(1), 1–15. https://journal.abdurraufinstitute.org/index.php/arjeis/article/view/225
  3. Rahman, A., & Nasihin, A. (2020). Mampukah sekolah gratis mencapai pemenuhan standar nasional pendidikan?. Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam9(1), 102–116. https://doi.org/10.32832/tadibuna.v9i1.2863
  4. Reni, S., Asbari, M., & Ramadhan, M. B. (2024). Pendidikan yang Membebaskan: Sebuah Reinterpretasi Filsafat Pendidikan Paulo Freire. Journal of Information Systems and Management (JISMA)3(5), 19–26. https://jisma.org/index.php/jisma/article/view/1058
  5. Robianti, D., Nasution, R., & Hartono, B. (2019). Membangun Pendidikan Alternatif yang Inklusif: Studi Kasus PKBM Madani Hebat. Jurnal Pendidikan Nonformal, 3(2), 34–49. https://edu.pubmedia.id/index.php/jpn/article/view/1233
  6. Salim Hani, M. A., & Ilham, I. (2021). Pendidikan Pembebasan (Studi Pemikiran Paulo Freire dan KH Ahmad Dahlan). CIVICUS : Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 9(1), 18. https://doi.org/10.31764/civicus.v9i1.5812
  7. Siswadi, G., & Murtiningsih, R. (2024). Revolusi Pendidikan Berbasis Kebebasan dan Demokrasi Dalam Pandangan Alexander Sutherland Neill dan Relevansinya Dengan Konsep Merdeka Belajar di Indonesia. HAPAKAT : Jurnal Hasil Penelitian3(1). https://ejournal.iahntp.ac.id/index.php/hapakat/article/view/1188
  8. Yusuf, Yusril. (2024). Pendidikan yang Memerdekakan Persepektif Freire dan Ki Hajar Dewantara. Peradaban Journal of Interdisciplinary Educational Research, Vol. 2, Issue 2 https://jurnal.peradabanpublishing.com/index.php/PJIER/article/view/187

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *