Serakah

Serakah

I
Di rimba kota yang menggigil debu
manusia menanam paku di tanah basah
mengukur bumi dengan pita meteran
seraya berkata: ini milikku semua

Ia tak cukup dengan sepetak sawah
maka ia tebang hutan demi lumbung mimpi
menyedot sungai sampai kering bunyinya
menggali emas dari perut ibu sendiri

Langit dipaku dengan reklame raksasa
laut dikurung dalam drum dan kantong plastik
udara diperas jadi bensin murahan
serakah menyamar dalam nama pembangunan

Tak pernah puas ia pada sebutir roti
harus sekeranjang—atau tak ada arti
tak cukup satu rumah untuk tidur
perlu seratus meski tak bisa berteduh dari sunyi

Anak-anak lapar ia jadikan statistik
penderitaan dijual dalam siaran pagi
keserakahan duduk di singgasana kaca
berpidato tentang kemajuan dan investasi

Tapi lihatlah
bumi mulai retak menahan dendamnya
hujan tak lagi turun dengan kasih
matahari menyeringai tanpa ampun

Ketika kerakusan jadi agama baru
manusia sembah api dari uang dan kuasa
hingga lupa bahwa ia hanya tamu
di meja makan yang tak abadi selamanya

Dan di ujung keserakahan itu
hanya ada cermin
memantulkan wajah
yang tak lagi manusia

II
Di meja makan yang penuh daging
manusia lupa cara bersyukur
tangan kanannya mengambil
tangan kirinya mencuri

Ia mengunyah lebih dari cukup
lalu membuang sisanya ke tong sampah
sementara anak-anak kurus
menelan angin seperti permen gula

Keserakahan tak bertanya
siapa yang lapar siapa yang kenyang
ia hanya tahu menimbun
dan lupa berbagi

Bahkan waktu pun ingin ia miliki
hingga tak sempat melihat
mata orang lain yang basah
oleh lapar yang tak sempat bersuara

III
Manusia membuat gedung sampai langit
lalu melupakan burung yang tak lagi hinggap
ia timbun tambang dengan tangan baja
tak peduli tanah menangis karena luka

Sungai disulap jadi got yang murka
hutan dibabat tanpa permisi
dalam keheningan yang memekakkan
bumi berdoa agar dilupakan

Keserakahan datang seperti kabut
diam-diam melingkupi dada
membuat manusia menilai segalanya
dengan harga bukan rasa

IV
Seorang lelaki duduk di ujung dunia
memegang remote dan dompetnya
ia membeli semuanya
kecuali rasa cukup

Ia menukar malam dengan lampu
menukar laut dengan tambang
menukar tetangga dengan pagar tinggi
dan menukar ibunya sendiri dengan saham

Kekuasaan membuatnya buta
kekayaan membuatnya tuli
ia berjalan di antara puing
dan tetap merasa berjaya

Di dalam dadanya
tak ada ruang lagi
bahkan untuk satu tetes air
yang minta diselamatkan

V
Kelak
ketika pohon terakhir tumbang
dan ikan terakhir mati
dan udara terakhir tercemar
ia akan duduk sendiri
di singgasananya yang emas
dikelilingi oleh kekosongan
yang dibangunnya sendiri

Saat itu
barulah ia tahu
bahwa dari semua yang ia kumpulkan
tak satu pun yang bisa ia makan
dan dari semua yang ia timbun
tak satu pun yang bisa ia peluk

Dan ketika tubuhnya lemah
dan ia memanggil nama Tuhan
ia akan sadar
bahwa Tuhan pun pergi
karena ia terlalu sibuk menjadi tuhan bagi dirinya sendiri

Mojokerto, 2025

Suara Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *