Sedikit Membaca, Sedikit Berpikir

Membaca bukan sekadar kegiatan menyerap informasi; ia merupakan aktivitas kognitif yang membentuk kemampuan berpikir analitis, evaluatif, dan kritis. Aktivitas ini melatih otak untuk menganalisis, menghubungkan konsep, serta menilai informasi secara mendalam. Namun, kenyataannya di Indonesia, kebiasaan membaca masih tergolong rendah, dan hal ini berdampak nyata pada kemampuan berpikir generasi muda.
Penelitian Hasanah dkk. (2022) di SMAN 12 Rejang Lebong menunjukkan fenomena menarik: meski skor kebiasaan membaca siswa cukup tinggi, dengan rata-rata 74,37, kemampuan berpikir kritis mereka hanya mencapai 62,57. Temuan ini mengindikasikan bahwa frekuensi membaca yang rendah atau durasi membaca yang terbatas cukup berpengaruh pada kemampuan berpikir mendalam. Selain itu, dalam penelitian Ulu (2022) kesadaran metakognitif dalam strategi membaca terbukti memediasi kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru.
Masalah rendahnya kebiasaan membaca di Indonesia bukanlah hal baru. Survei di Universitas Atma Jaya Yogyakarta mencatat bahwa hanya 38% mahasiswa aktif membaca, sementara mayoritas mengalokasikan waktu kurang dari satu jam per hari untuk membaca (Sukci & Fitriati, 2025). Tren ini menimbulkan hipotesis awal bahwa jarang membaca berimplikasi langsung pada melemahnya kemampuan berpikir kritis.
Data dari media massa memperkuat temuan ini. Batam Pos (30 Juli 2025) melaporkan tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, jauh di bawah rata-rata global (news.batampos.co.id). Laporan dari situs Mahasiswa Indonesia (2025) mencatat adanya peningkatan minat baca, namun skor literasi masih belum memenuhi standar esensial untuk mendukung berpikir kritis (mahasiswaindonesia.id). Sementara itu, situs pemerintah Lamongan (2025) menyoroti bahwa generasi Z lebih banyak mengonsumsi konten digital dibanding membaca buku atau artikel panjang, yang menunjukkan latihan mental yang esensial untuk berpikir analitis masih sangat terbatas (dinarpustaka.lamongankab.go.id).
Penyebab rendahnya budaya membaca pun telah diidentifikasi. Sampoerna Foundation (2024) menyebut faktor-faktor seperti terbatasnya akses bahan bacaan, dominasi media sosial, serta kebiasaan membaca yang belum terbentuk sejak dini (program.sampoernafoundation.org). Kalla Institute menambahkan bahwa hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku (kallainstitute.ac.id), menunjukkan kesenjangan antara akses literasi dan kemampuan berpikir kritis yang berdampak pada kualitas kognitif generasi muda.
Fenomena “malas membaca tapi cerewet di media sosial” yang dilaporkan Komdigi (komdigi.go.id) menunjukkan bahwa anak muda cenderung menyerap informasi instan, tanpa melalui proses analisis mendalam yang dapat memperkuat kemampuan berpikir. Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Babel (2019) pun menunjukkan bahwa rendahnya minat baca siswa berpengaruh langsung terhadap mutu pendidikan (dkpus.babelprov.go.id). Semua temuan ini menegaskan pola konsisten: frekuensi membaca yang rendah, durasi membaca singkat, dan dominasi konten digital berhubungan erat dengan kemampuan berpikir yang lemah.
Dampak dari kebiasaan membaca yang minim tidak hanya terlihat pada kemampuan berpikir kritis, tetapi juga pada keterampilan menyelesaikan masalah kompleks. Siswa yang jarang membaca cenderung mengambil keputusan tanpa pertimbangan mendalam karena kurang terbiasa menganalisis informasi secara kritis. Anak-anak dan remaja yang lebih menyukai media visual, video, atau media sosial, misalnya, kurang berlatih dalam analisis, evaluasi, dan sintesis informasi, sehingga kemampuan berpikir mereka tidak berkembang secara optimal.
Secara keseluruhan, dugaan dari beberapa informasi terkait ini mengindikasikan bahwa budaya membaca yang lemah menjadi salah satu penyebab utama keterbatasan kemampuan berpikir. Fenomena ini muncul di berbagai wilayah, tingkatan pendidikan, dan kelompok usia, menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik.
Kesimpulan yang dapat diambil cukup jelas: jarang membaca berdampak signifikan pada kemampuan berpikir yang lemah. Hal ini menegaskan urgensi intervensi pendidikan, program literasi sekolah, serta pembiasaan membaca di rumah dan masyarakat. Dengan memperkuat budaya membaca, diharapkan generasi muda Indonesia dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan analitis yang esensial untuk menghadapi tantangan kompleks di era informasi ini.
Sumber Rujukan
Hasanah, R., Martina, F., & Afriani, Z. L. (2022). The Correlation Between Students’ Reading Habit and Critical Thinking Skills. JPT: Jurnal Pendidikan Tematik, 3(1). https://siducat.org/index.php/jpt/article/view/499
Sukci, L. B. P., & Fitriati, A. (2025). Reading Habits Among Students of Universitas Atma Jaya Yogyakarta. LATTE: A Journal of Language, Culture, and Technology ISSN 3063-0754, 3(1). https://doi.org/10.24002/lj.v3i1.11658
Ulu, H. (2022). Examining the Relationships Between the Attitudes Towards Reading and Reading Habits, Metacognitive Awarenesses of Reading Strategies and Critical Thinking Tendencies of Pre-Service Teachers. International Journal of Contemporary Educational Research, 6(1), 169–182. https://doi.org/10.33200/ijcer.549319