Rona Bungkal dan Puisi Lainnya

RONA BUNGKAL
Tak cukupkah dirimu?
Beribu senandung ayat kuguratkan kisahmu
Satu kursi jabat, ku taruhkan untuk mu
Lima puluh buku, ku sembahkan sejarah mu
Sepuluh jurnal, ku deskripsikan kehangatanmu
nan seribu sajak berkumandang, ku adzankan keagungan mu
Titih tertatih kian menjejak
Rangkak merangkak mengayun rona dunia
Tak habis kutuntas seumur hidup hanyakah untukmu Sahaja
sedari kala tak lain lagi
Siram cinta nan tulus maha tinggi
Ketekunan kian memetik segala mawar bumi manusia ini
Pernahkah kau bersabda gusti?
Haruskah ku seberangi alam baka ini
Haruskah demi menorehkan mata cinta ini
Namun mengapa?
Namun mengapa aku masih saja salah meneriakimu sang suci.
Namun mengapa?
Namun mengapa aku masih saja salah menangisimu sang suci.
BENARKAH KEBERADAANMU NYATA
Telah jauhkah batara kala mendorongmu pergi
Benarkah engkau dihempaskan oleh hamba-Mu sendiri?
Sinar terang-Mu, entahlah, tak terlihat lagi
Dirimu kini tak lain sekadar identitas diri
Tuhan...
Tuhan...
Tuhan...
Mengigaukah kau, melantunkan kun fayakun-mu pada makhluk busuk ini?
sudahkah kau haturkan segala, namun apa?
Mereka melupakan-mu
Mereka mengkhianati-mu
Bahkan, lebih dari itu, kau tak lagi seagung dahulu.
Tajuk agung
Tengara mulia
Di manakah mahkota agung-Mu yang maha mulia?
Durjana kosmik membelenggu dalam rantai hukum,
Mengikat, menekan, membusukkan keajaiban dirimu, Tuhan
Kini, dirimu bagai tak lain damalodor terhempas ombak khayalan
Sesembahan tabur bunga hanyalah tontonan buta.
Busuk, busuk, busuk
Hamba suci-Mu, enggan keluar dalam pusaran air.
Mereka telah menjadi Kompas penyesat arah,
Menusuk mata-mata indah sesama saudara,
Menjadi katup kepedihan, saling menuding hamba.
AKU YANG FANA
Ayat-ayat suci kau lantunkan syahdu
lafaz demi lafaz kau ukir sederhana
Hasrat menggebu, membara tiada tara
Aku larut, terlelap dalam mimpi yang nyata.
Mengapa aku sebenarnya?
Apakah aku sudah gila?
Oh, tidak
Aku tetaplah aku
Tapi, kenapa aku?
Aku tenggelam dalam kebingungan
Aku ragu dalam keraguan
Segala yang ada katanya nyata
Segala yang nyata katanya ada
Pantaskah aku sebagai manusia?
Punya pikiran namun buta
Pantaskah aku sebagai tolok ukur segalanya?
hanya karena kayanya, manusia ciptaan paling sempurna
Penulis: Taufiq H