Puisi-Puisi Farhan Azizi

Gelar Bukan Gula

Di warung kopi, ia letakkan ijazah,
seperti kitab suci tak punya pembaca.
Gelas plastik jadi altar sunyi,
dan gigi geraham menggertak roti basi.

Topi toga jadi lap meja,
dan toga dilipat jadi alas dada.
Uang transport tinggal sisa ongkos,
doa dari ibu larut jadi ngos-ngosan napas.

Teman-teman jadi desas-desus,
mereka bekerja di balik seragam penuh diskursus.
Tapi dia—sudut kanan tongkrongan—
menjadi filsuf bagi harga mi instan.

Juli 2025

Alumni Tercatat di Karung Beras

Ijazahnya basah oleh tumpahan minyak,
kertas bergaris, bukan mimpi berjejak.
Tinta cumlaude melebur bersama saus sambal,
setiap prestasi menguap di etalase modal.

Ia menimbang liter bensin seperti menimbang dosa,
menyebut Tuhan sambil membakar sisa pulsa.
Teman satu angkatan jadi direktur kata-kata,
sementara dia disapa tukang, bukan sarjana.

Wajahnya terekam CCTV angkringan,
bukan televisi nasional.
Namanya viral di grup alumni,
tapi hanya untuk diminta iuran sosial.

Baca Juga
Serakah

Juli 2025

Strategi Bertahan di Antara Abu Rokok

Kopi sachet diseruput dengan iman yang retak,
strategi bertahan: utang warung dan lawakan murahan.
Tak ada ruang di seminar kota,
namanya tak pernah disebut di podium suara.

Sepatu pantofel kini jadi hantu,
ia lebih percaya sandal jepit untuk temu rindu.
Skripsi tentang kemiskinan kini jadi cermin,
menatapnya kembali, mencibir dalam angin.

Ia tak ingin jadi inspirasi
buat motivator berlisensi.
Ia hanya ingin hidup, sekadar cukup,
tanpa harus mendengar jargon “jangan menyerah” di tiap subuh.

Juli 2025

Kalimat Pasif di CV yang Aktif di Jalan

Mengetik lamaran pakai HP pinjaman,
dengan sinyal Wi-Fi dari warung tetangga.
Kata “berpengalaman” diselipkan di antara sisa kenyataan,
padahal pengalaman hanyalah sabar dan luka.

Alamat domisili pindah ke emper ruko,
sandiwara harian: pakai kemeja, walau nganggur sepenuhnya.
Senyum jadi topeng tetap dijaga
karena dunia lebih suka yang tak mengeluh apa-apa.

CV-nya penuh kalimat pasif,
tapi langkahnya aktif di setiap persimpangan.
Ia berangkat bukan untuk bekerja,
tapi untuk menanyakan hidup pada jalanan.

Juli 2025

Tugas Akhir Bernama Bertahan

Kawan-kawan dulu menulis makalah tentang perubahan,
sekarang hanya satu-dua yang sanggup makan tiga kali sehari.
Kampus menjadi kenangan dari jenis termahal,
dan tawa jadi arsip yang dibungkus kardus mie.

Tugas akhir sebenarnya bukan skripsi,
tapi bagaimana menyiasati gaji harian.
Bagaimana agar harga telur tak membuat kepala meledak,
agar nasi bungkus tetap terasa seperti sabda.

Di tongkrongan, bukan lagi cita-cita yang dibincangkan,
tapi siapa yang masih punya utang.
Wisuda tinggal foto untuk diubah jadi lamaran kerja,
kepala pecah lagi, tapi bukan karena ujian—karena hidup nyata.

Juli 2025

Suara Serupa

Tinggalkan Balasan