Menyoal Dominasi Lembaga Fatwa di Indonesia Pasca-Orde Baru (Bagian III-Penutup)

Setelah menelusuri konfigurasi otoritas dan spektrum ideologi lembaga-lembaga fatwa seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah, kini penting untuk meninjau bagaimana otoritas tersebut bekerja dalam realitas sosial yang lebih luas. Fatwa tidak hanya beroperasi di tataran konseptual, melainkan juga menembus ruang publik melalui keputusan-keputusan yang memengaruhi perilaku, kebijakan, bahkan arah moral masyarakat. Dari sini, fatwa tampil sebagai kekuatan simbolik yang memiliki implikasi langsung terhadap dinamika sosial-politik umat Islam Indonesia.
Pemahaman atas fatwa sebagai teks dan lembaga akan menjadi kurang utuh tanpa melihat dimensi praksisnya—yakni bagaimana ia diartikulasikan, diterima, atau bahkan dipersoalkan oleh umat. Bagian ini akan membahas bagaimana fatwa bergerak dari ruang teologis ke ruang sosial, menjadi instrumen pembentuk kesadaran kolektif sekaligus arena perebutan makna dan kekuasaan. Di sisi lain, bagian ini juga menguraikan kritik terhadap pendekatan dan cakupan buku Fatwa in Indonesia karya Pradana Boy ZTF (2017), terutama dalam hal keterbatasan empiris dan representasi sosial yang menyertainya.
Implikasi Sosial-Politik Fatwa
Pradana berhasil menguraikan bagaimana fatwa bukan sekadar produk teologis, melainkan juga arena kontestasi ideologi dan kekuasaan. Fatwa menjadi bagian dari lanskap kekuasaan simbolik yang berupaya mengatur makna yang sah dalam kehidupan publik umat Islam. Dalam konteks Indonesia yang plural dan demokratis, fatwa-fatwa memiliki potensi untuk menjadi penggerak transformasi sosial—namun juga berpotensi sebagai penghalang kebebasan beragama dan kebhinekaan (Salim, 2008; Feener, 2007).
Sebagai contoh, fatwa MUI tahun 2005 tentang haramnya pluralisme, liberalisme, dan sekularisme tidak dapat dilepaskan dari ketegangan antara Islam normatif yang dianut sebagian besar ulama konservatif dengan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan multikultural. Fatwa ini menandai titik balik dalam peran MUI pasca-Orde Baru sebagai aktor politik-moral yang berusaha mengarahkan kehidupan berbangsa dari sudut pandang Islam normatif. Namun, dominasi fatwa-fatwa eksklusif dan konservatif semacam ini cenderung mempersempit ruang dialog lintas mazhab dan keyakinan, serta meneguhkan batas-batas ortodoksi yang rigid dalam komunitas Muslim.
Fatwa tidak hanya memengaruhi kesadaran normatif umat, tetapi juga memiliki efek praktis dalam kebijakan publik. Sejumlah fatwa bahkan telah dijadikan landasan dalam penyusunan perda syariah di berbagai daerah. Dalam hal ini, fatwa bergerak dari wilayah moral-spiritual ke wilayah regulatif-politis. Namun sayangnya, banyak dari fatwa-fatwa ini tidak melalui proses kajian dampak sosial secara menyeluruh, sehingga mengabaikan realitas keragaman dan relasi kekuasaan yang timpang di masyarakat.
Di sisi lain, fatwa juga kerap digunakan sebagai alat mobilisasi politik oleh aktor-aktor keagamaan maupun kekuasaan. Misalnya, fatwa tentang haramnya golput dalam pemilu atau fatwa mendukung kandidat tertentu dapat berimplikasi besar terhadap hasil politik dan arah kebijakan negara. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas fatwa tidak netral, tetapi sangat rentan digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang lebih luas.
Dalam konteks sosial, fatwa berperan sebagai instrumen sosialisasi nilai dan norma Islam. Namun, ketika nilai-nilai yang disosialisasikan adalah eksklusif, monolitik, dan intoleran terhadap keberagaman internal umat Islam sendiri, maka fatwa dapat menjadi sumber konflik dan justifikasi diskriminasi. Misalnya, fatwa tentang sesatnya Syiah dan Ahmadiyah bukan hanya menjadi rujukan keagamaan, tetapi juga digunakan oleh kelompok vigilante untuk melakukan tindakan kekerasan dan intoleransi atas nama menjaga akidah.
Pradana menyarankan bahwa untuk menjadikan fatwa sebagai elemen produktif dalam sistem hukum dan kehidupan sosial, maka pendekatan terhadap fatwa perlu direformulasi. Fatwa sebaiknya tidak hanya dipandang sebagai penetapan hukum yang bersifat normatif, melainkan juga sebagai bentuk komunikasi sosial dan representasi politik. Dalam kerangka ini, penting untuk mengembangkan mekanisme fatwa yang partisipatif, transparan, dan berbasis riset sosial agar produk fatwa benar-benar mencerminkan kebutuhan umat serta menjaga harmoni dalam masyarakat plural.
Dengan demikian, implikasi sosial-politik dari fatwa menuntut kehati-hatian dan pertimbangan etis yang tinggi. Fatwa dapat menjadi kekuatan moral yang mendorong keadilan sosial dan kemaslahatan umum, tetapi juga dapat berubah menjadi senjata ideologis yang memperkuat eksklusivisme dan diskriminasi. Tanggung jawab ini berada di tangan lembaga-lembaga fatwa, agar terus mereformasi pendekatan mereka dan menjadikan fatwa sebagai medium dakwah yang mencerahkan, bukan menghakimi.
Kritik atas Pendekatan dan Cakupan Buku
Kendati menyuguhkan analisis tajam dan mendalam, buku ini memiliki sejumlah keterbatasan yang patut dicermati. Salah satu kritik utama terletak pada kurangnya penggunaan data lapangan. Pradana tidak melakukan wawancara mendalam atau observasi partisipatif terhadap aktor-aktor fatwa di tingkat lokal. Hal ini menyebabkan pendekatan sosio-legal yang ia gunakan menjadi lebih berat di sisi teoritis dan dokumentatif, serta kurang menyentuh realitas praksis dari para pelaku fatwa di lapangan. Padahal, dinamika dan proses sosial dalam pengambilan serta penerimaan fatwa sangat penting untuk dipahami secara empirik.
Ketergantungan pada data dokumen dan publikasi resmi membuat buku ini berisiko terjebak dalam generalisasi yang terlalu menyederhanakan kompleksitas lokal. Konteks sosial-politik di tingkat akar rumput, yang kerap kali memiliki variasi respons terhadap fatwa pusat, luput dari analisis. Ini menimbulkan kesan bahwa pengaruh fatwa bersifat top-down dan seragam, padahal realitasnya sangat kontekstual dan dinamis.
Selain itu, fokus utama buku ini hanya pada tiga lembaga besar, yaitu MUI, NU, dan Muhammadiyah. Meskipun ketiganya memang merupakan lembaga paling dominan dalam lanskap otoritas keagamaan di Indonesia, namun pilihan ini menyisihkan suara lembaga-lembaga fatwa independen, komunitas pesantren kecil, dan tokoh-tokoh keagamaan non-mainstream yang juga memiliki pengaruh kuat di wilayah masing-masing. Suara alternatif dari kelompok perempuan, anak muda, atau komunitas marjinal juga tidak mendapat tempat yang memadai.
Aspek gender menjadi salah satu kekurangan yang paling mencolok. Buku ini hampir sepenuhnya dibangun dari perspektif elite laki-laki. Padahal, dalam kenyataannya, perempuan adalah pihak yang sangat sering menjadi objek fatwa, terutama dalam isu-isu seperti perkawinan, poligami, KB, dan kesehatan reproduksi. Tidak adanya perspektif feminis atau gender-sensitive dalam pembacaan fatwa merupakan celah besar yang perlu diisi dalam studi-studi lanjutan.
Meski demikian, keunggulan buku ini tetap patut diapresiasi. Penggunaan pendekatan sosio-legal secara konsisten mampu membongkar relasi kekuasaan yang tersembunyi di balik produksi fatwa. Pradana menunjukkan bahwa fatwa bukan semata respons terhadap problem keagamaan, tetapi juga konstruksi ideologis yang berkaitan erat dengan struktur otoritas dan dominasi simbolik dalam masyarakat. Kerangka teori dominasi dan konfigurasi otoritas keagamaan yang digunakan sangat relevan dan berhasil mengungkap bias-bias ideologis di balik putusan-putusan keagamaan.
Buku ini memberikan sumbangan penting bagi pengembangan studi hukum Islam yang lebih kontekstual dan kritis. Ia menantang pendekatan normatif yang telah lama mendominasi studi fatwa, dan membuka jalan bagi pendekatan multidisipliner dalam kajian keislaman. Namun untuk menjadi lebih kuat, karya ini akan sangat terbantu jika dilengkapi dengan studi lapangan, wawancara etnografis, dan analisis terhadap respons masyarakat terhadap fatwa.
Kendati tidak lepas dari kekurangan, buku ini tetap merupakan kontribusi akademik yang berarti. Ia meletakkan fondasi penting bagi diskusi lebih lanjut tentang reformasi otoritas fatwa, baik dari segi struktur kelembagaan, metodologi, maupun orientasi ideologisnya.
Daftar Acuan
Bruinessen, Martin van. (2002) “Traditions for the Future: The Reconstruction of Traditionalist Discourse within NU.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158, no. 2/3: 277–310.
Hooker, M.B. (2008). Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law. Singapore: ISEAS.
Feener, R. Michael. (2007). “Indonesian Movements for the Codification of Islamic Law: Legal Pluralism and the Collapse of the New Order.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 163, no. 4: 587–605.
Pradana, Boy ZTF. (2017). Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Salim, Arskal. (2008). Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Identitas Buku
Judul: Fatwa in Indonesia: An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period
Penulis: Pradana Boy ZTF
Penerbit: Amsterdam University Press
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 316 halaman
Editor: Muhammad Farhan Azizi