ADVERTISEMENT

Meninjau Ulang Peta Moderasi Beragama di Indonesia

Meninjau Ulang Peta Moderasi Beragama di Indonesia
Ilustrasi Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025-2029

Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedang mengalami krisis keberagamaan. Masjid tetap ramai, kegiatan keagamaan tetap semarak, dan ekspresi religius hadir di berbagai ruang hidup.

Krisis yang sedang dihadapi sekarang memang bukan krisis keberagamaan. Jauh lebih subtil sekaligus berbahaya, krisis yang ada di hadapan kita sekarang adalah krisis cara memahami keberagamaan.

Polarisasi identitas yang kian mengeras, derasnya arus ujaran kebencian di ruang digital telah menggeser pemaknaan agama dari sumber kedamaian menjadi alat saling serang. Pada situasi seperti inilah Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029, sebuah dokumen strategis terbitan Kementerian Agama, hadir sebagai upaya menata ulang arah keberagamaan Indonesia.

Sekalipun berbentuk dokumen kebijakan, buku ini memiliki bobot lebih dari sekadar panduan administratif. Ia merupakan dokumen reflektif sekaligus prospektif yang memotret kondisi objektif keberagamaan hari ini sekaligus menawarkan arah langkah lima tahun ke depan.

Sejak halaman-halaman awal, buku ini menepis anggapan keliru bahwa moderasi beragama adalah proyek pelemahan agama. Sebaliknya, moderasi dipahami sebagai kerangka agar nilai-nilai keagamaan dapat hidup berdampingan secara damai dalam negara yang majemuk.

Empat nilai utama yang diusung adalah komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, toleransi, dan penerimaan terhadap budaya lokal. Keempat nilai tersebut senyatanya menjadi fondasi konseptual yang terus dijaga dalam keseluruhan alur roadmap.

Salah satu keunggulan buku ini terletak pada keberaniannya memaparkan kondisi eksisting dengan jujur dan analitis. Tidak sedikit dokumen kebijakan yang cenderung normatif; namun buku ini membentangkan persoalan secara lebih telanjang, mulai dari menguatnya polarisasi identitas, meluasnya politisasi agama, penetrasi ide ekstrem yang menyasar kelompok muda, termasuk dinamika ruang digital yang semakin tak terbendung.

Dari pemetaan tersebut, buku ini kemudian bergerak ke tahap strategis berupa rumusan program. Inilah titik di mana roadmap ini menunjukkan bobot akademis sekaligus praktisnya.

Penguatan moderasi beragama tak hanya diarahkan pada lembaga pendidikan formal atau keagamaan, tetapi merambah pada sektor tata kelola aparatur, layanan publik, kerja sama antar-kementerian, hingga digitalisasi program. Pendekatan luas semacam ini menandai perubahan cara pandang pemerintah bahwa moderasi beragama bukan hanya urusan Kementerian Agama, tetapi agenda nasional yang membutuhkan orkestrasi lintas lembaga.

Menariknya, roadmap yang dilakukan Kementerian Agama juga menekankan pentingnya kolaborasi multipihak. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, ormas keagamaan, jurnalis, influencer digital, serta komunitas lokal diajak terlibat dalam gerakan bersama.

Penekanan semacam ini relevan di tengah kondisi publik yang mudah terbelah oleh emosi viral dan propaganda digital. Baik narasi maupun program tidak akan efektif jika hanya bergerak dari pusat; ia membutuhkan ekosistem yang bekerja dari pusat hingga akar rumput.

Buku ini juga menawarkan strategi lintas sektor yang cukup konkret berupa reformulasi pendidikan agama, peningkatan kapasitas guru dan penyuluh, sinergi program dengan ormas keagamaan, dan upaya membangun ruang digital yang sehat melalui kampanye literasi dan produksi konten positif. Pendekatan multi-level inilah yang membuat roadmap ini terasa realistis sekaligus visioner.

Selain memiliki banyak kelebihan, dokumen ini tidak bebas dari catatan kritis. Pertama, sejumlah indikator keberhasilan masih tampak terlalu umum dan belum sepenuhnya operasional. Misalnya, indikator tentang keberhasilan internalisasi moderasi beragama di sekolah atau kementerian seharusnya dirumuskan dengan kerangka yang lebih terukur. Tanpa indikator teknis, keberhasilan mudah ditafsirkan berbeda antara satu institusi dengan yang lain.

Kedua, meski buku ini menyebut dinamika keragaman daerah, panduan operasional berbasis konteks lokal belum tergarap dengan memadai. Indonesia bukanlah entitas homogen. Moderasi beragama di Aceh, misalnya, tidak dapat diperlakukan sama dengan di Bali atau Papua. Tanpa perangkat implementasi yang sensitif terhadap keragaman lokal, program ini berisiko menjadi seragam dan kehilangan daya adaptasinya di lapangan.

Catatan ketiga menyangkut absennya refleksi mendalam terhadap implementasi program moderasi beragama periode sebelumnya (2019–2024). Tidak ada paparan tentang apa yang berhasil, apa yang terhambat, dan pelajaran apa yang dapat ditarik untuk penyempurnaan. Tanpa evaluasi yang detil, roadmap lima tahun ke depan berpotensi mengulang langkah yang sama tanpa penguatan berbasis pengalaman.

Meski demikian, sebagai naskah kebijakan sekaligus bahan bacaan publik, Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029 tetap merupakan dokumen penting. Ia hadir dengan bahasa yang lugas, struktur yang jelas, dan visi yang gamblang. Di tengah derasnya guncangan sosial akibat hoaks, intoleransi, dan politik identitas, buku ini menjadi mercusuar bagi arah kebijakan keberagamaan Indonesia.

Bagi akademisi, pemerhati isu sosial-keagamaan, aktivis masyarakat sipil, maupun aparatur negara, buku ini menawarkan kerangka konseptual dan peta strategi yang dapat dijadikan acuan memahami arah perjalanan keberagamaan Indonesia. Sebagai publik yang hidup di tengah keragaman, kita kerap membutuhkan panduan untuk membumikan nilai agama tanpa kehilangan nalar kebangsaan. Lantas roadmap ini hadir sebagai salah satu jawaban.

Jika pemerintah mampu menerjemahkan gagasan besar dalam roadmap ini melalui dengan ukuran capaian yang lebih terukur, strategi yang adaptif, serta kolaborasi yang konsisten, niscaya lima tahun ke depan dapat menjadi momentum penting untuk memperkokoh sendi-sendi kebangsaan melalui keberagamaan yang matang, inklusif, dan berkeadaban.

Jika boleh dikata, buku ini mengingatkan kita bahwa moderasi beragama bukanlah jalan kompromi atau netralitas yang datar. Dokumen ini adalah jalan tengah yang memungkinkan setiap warga memeluk keyakinannya dengan tenang, sekaligus hidup berdampingan dalam ruang kebangsaan yang sama. Inilah spirit yang ingin ditegakkan Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029 sebagai sebuah ikhtiar kolektif demi merawat Indonesia sebagai rumah yang damai bagi semua.

Identitas Buku
Judul: Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025-2029
Editor: Syamsul Arifin, dkk.
Penerbit: Kementerian Agama RI
Cetakan: I, Oktober 2025
Tebal: xx + 154 halaman
ISBN: 978-602-293-280-2
Peresensi: Ahmad Fatoni, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang


Editor: Andi Surianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *