Membaca Kemenangan Zohran Mamdani di New York

Kemenangan Zohran Mamdani sebagai Walikota New York City (NYC) bukan sekadar berita pergantian pejabat. Ini adalah sebuah episentrum politik yang mengirimkan getaran kuat, menandai pergeseran ideologi mendasar, dan mengukuhkan pentingnya representasi identitas dalam demokrasi modern.
Mamdani, yang kini mengukir sejarah sebagai Walikota Muslim, Asia Selatan, dan kelahiran Afrika pertama di NYC, telah menantang dan memenangkan pertarungan melawan raksasa politik establishment, terutama mantan Gubernur Andrew Cuomo. Kemenangan ini, yang dicapai dengan perbedaan suara yang meyakinkan, adalah deklarasi perang tanpa ampun terhadap status quo yang telah lama menjerat warga kelas pekerja dan kaum minoritas.
Inti dari fenomena Mamdani adalah krisis keterjangkauan hidup (affordability crisis) yang sudah mencapai titik didih di NYC. Kota ini, dengan kekayaan tak tertandingi, juga menjadi rumah bagi kesenjangan sosial yang menganga. Harga sewa properti yang melambung, transportasi publik yang memburuk, dan biaya hidup yang mencekik telah menciptakan silent majority yang haus akan solusi radikal.
Di sinilah Sosialisme Demokrat ala Mamdani menemukan resonansinya. Platform kampanyenya bukanlah sekadar janji, melainkan sebuah cetak biru restrukturisasi ekonomi yang berani. Ia menjanjikan pembekuan sewa massal bagi unit sewa stabil—sebuah magnet bagi jutaan penyewa yang frustrasi oleh kekuasaan landlord besar—serta transportasi publik gratis dan universal.
Pendanaan program-program ini diusulkan melalui penaikan pajak korporasi dan pajak penghasilan bagi 1% penduduk terkaya. Ini adalah pukulan telak terhadap ideologi neoliberal. Kemenangan Mamdani memperlihatkan bahwa istilah Sosialis kini telah dinormalisasi dan, yang lebih penting, diinginkan oleh segmen besar pemilih yang meyakini bahwa hanya dengan rekayasa ulang sistem ekonomi secara fundamental, keadilan sosial dapat tercapai. Ini adalah penanda kebangkitan politik progresif yang sesungguhnya di Amerika.
Latar belakang Mamdani memainkan peran ganda yang krusial. Sebagai Walikota Muslim pertama, ia membawa simbol harapan dan inklusivitas yang tak ternilai harganya. Di tengah gelombang Islamofobia yang marak, kemenangan ini adalah kemenangan moral bagi komunitas Muslim dan Asia Selatan di Amerika. Ia membuktikan bahwa identitas yang berbeda dapat menjadi katalisator persatuan.
Mamdani tidak ragu untuk mengambil sikap tegas dalam isu-isu global yang sensitif, seperti dukungannya terhadap hak-hak Palestina. Sikapnya ini, meskipun memicu kontroversi, berhasil memobilisasi basis aktivis yang idealis dan menggarisbawahi pentingnya solidaritas global dalam politik lokal.
Pendekatan kampanye Mamdani yang berbasis grassroots, didukung oleh puluhan ribu relawan dan donasi kecil, jauh berbeda dengan kampanye mahal para pesaingnya. Ini adalah revolusi kecil dalam cara politik dijalankan, menunjukkan bahwa energi massa pemilih muda dan relawan dapat mengalahkan kekuatan uang dan jaringan politik lama.
Namun, euforia kemenangan ini harus dibarengi dengan realisme politik. Mandat Walikota NYC adalah salah satu tugas eksekutif paling berat di dunia. Mamdani akan menghadapi perlawanan yang sengit dan terorganisasi dari Dewan Kota yang mungkin lebih konservatif, lobi properti yang sangat kuat, dan sektor keuangan yang skeptis terhadap kenaikan pajak besar-besaran.
Bahkan Dewan redaksi The New York Times telah menyuarakan kekhawatiran bahwa agenda Mamdani “sangat tidak sesuai dengan tantangan kota” dan berpotensi merusak pasar. Janji-janji ambisiusnya membutuhkan anggaran triliunan rupiah per tahun. Realisasi pendanaan melalui kenaikan pajak The 1 Percent harus melewati proses legislatif yang panjang dan rumit, dan berpotensi memicu eksodus para pembayar pajak kaya.
Selain itu, Mamdani harus berhasil mengelola ekspektasi yang sangat tinggi dari basis progresifnya. Jika ia gagal menunjukkan kemajuan nyata dalam isu perumahan dan transportasi dalam waktu singkat, antusiasme grassroots dapat dengan cepat berubah menjadi kekecewaan.
Oleh karena itu, kunci sukses Mamdani bukan hanya pada keberaniannya, tetapi pada kemampuannya untuk bernegosiasi, membangun koalisi yang efektif, dan mengubah ideologi menjadi kebijakan publik yang dapat diterapkan tanpa melumpuhkan mesin ekonomi kota.
Kemenangan Zohran Mamdani adalah suar harapan bagi politik global. Ia membuktikan bahwa di tengah gelombang populisme kanan dan otoritarianisme, politik yang berakar pada keadilan sosial, keberanian ideologis, dan representasi inklusif masih memiliki jalan menuju kekuasaan. Dunia akan menahan napas, mengamati apakah Walikota Muslim pertama ini mampu mengartikulasikan energi aktivisme menjadi sebuah transformasi metropolitan yang adil dan berkelanjutan. Kemenangannya adalah babak baru; implementasinya adalah ujian sejarah yang sesungguhnya.