ADVERTISEMENT

Laksana Kita

Laksana Kita

Seolah tahu apa yang dirasa
Abhinaya hirap seiring melankolia memeluk nestapa
Menghapus upeksa yang semula diberikan Chandra
Sang dayita milik Bumantera.

Apa yang bisa dilakukan?
Bila kehangatan milik Baskara yang menyebar ke segala penjuru buana
Adam karam oleh aura para atma yang kehilangan gentari dalam hidupnya.

Laksana daun yang gugur oleh serayuan merdu
Indah tetapi juga luka
Pun bianglala yang tak abadi hadirnya.

Bangkalan, 10 Juli 2023

Bait Kata

Aku ingin kembali menumpuk kata
Yang terkurung dalam pekat tinta
Jangan bosan melihatku menyulam bait
Sebab di sana, namamu yang selalu aku rakit

Aku teringat tentangmu di sela detik angka
Meneriaki namamu pada nabastala
Pandanglah lintang di atas sana
Dahayu binarnya ikut tersipu
Melihat tarian pena menuliskan satu nama
Sedang pemilik aksara tak henti dengan senyumnya
Kamu membutakanku tentang luka
Membuatku tak bisa mengingat irama sebuah patah.

Bangkalan, 11 Juli 2023

Dalam Upeksa yang Hening

Pada sunyi yang meluruh, kusebut namamu pelan,
Seperti desir angin yang enggan singgah di jendela.
Rindu ini tak menggelegak—
Ia hanya duduk di sudut dada, mengunyah waktu perlahan.

Tak ada peluk, tak ada salam.
Hanya sepi yang menua di balik dada,
Dan kenangan yang kini menjadi reruntuhan kata
Bernama nestapa.

Kau tahu?
Aku tak menangis.
Tangis telah berpulang
Pada malam-malam panjang
Yang tak lagi punya cahaya.

Aku diam dalam upeksa,
Menanti tanpa menunggu,
Mencintai tanpa suara,
Hingga rindu mencapai nirwana.

Bangkalan, 15 Juli 2024

Jejak di Tanah Perjuangan

Langkahku luka, tapi tetap melaju
Di tanah yang retak oleh janji dan hujan.
Angin tak selalu bersahabat,
Kadang ia mencaci arah dan meniupkan ragu ke dada yang nyalang.

Aku telah berkawan dengan lelah,
Menyeduh sabar dalam cangkir nestapa.
Tapi lihatlah,
Mata ini tak padam
Meski cahaya kadang enggan menyapa.

Perjuangan bukan gemuruh sorak,
Melainkan senyap yang setia berjalan
Saat yang lain memilih pulang.
Ia adalah doa tanpa suara
Dan luka yang disulam jadi cahaya.

Biarlah tak semua mengerti.
Yang aku tahu,
Setiap tapak yang kuguratkan di bumi ini bukan sia-sia.
Mereka tumbuh menjadi makna
Di altar waktu.

Bangkalan, 17 Agustus 2024

Di Antara Baris yang Gantung

Aku berjalan di atas benang yang rapuh,
Tak tahu ke mana angin hendak membawaku.
Langit terlalu diam untuk ditanya,
Dan bumi
Terlalu sibuk menopang luka-luka lama.

Segalanya serupa kabut:
Ada, tapi samar.
Dekat, tapi tak bisa kugenggam.
Aku bicara pada senyap,
Berharap ia menjawab
Tentang arah,
Tentang siapa yang tinggal,
Dan siapa yang hanya singgah.

Tapi jawabannya selalu sama:
Angin lalu dan waktu yang tak pernah menetap.

Ketidakpastian bukan musuh,
Tapi ia adalah lorong tanpa jendela
Membuatku belajar berjalan—
Meski tak tahu apakah fajar menunggu
Atau hanya malam yang lebih gelap lagi.

Bangkalan, 18 Januari 2025

Penulis: Feri Handika

(Penulis adalah Alumnus STIT Al-Ibrohimy Galis Bangkalan, Demisioner Ketua Umum AMANAH (Aliansi Mahasiswa Nurul Karomah ), Sekretaris Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral HMI Cabang Bangkalan).

Editor: Ihya Ulumuddin





Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *