VIII
Satu sore hujan. Warga berkumpul sambil minum teh hangat. Seorang anak kecil bertanya kepada Raka: “Om, apa kursi itu bisa bicara?”
Raka tersenyum. “Dia sudah bicara, Nak. Suara itu rekamannya masih ada—di rekaman, di tulisan, di hati. Kini, nama kursi goyang menjadi semacam panji kecil—semangat agar kita semua tetap bergerak.”
Si anak menyentuh rotan yang retak. “Saya mau duduk, Om.”
“Silakan,” jawab Raka. Anak itu mengayunkan kursi goyang dengan pelan. Dan saat kursi bergoyang, suara rotannya menggema halus—mengundang kisah, panggilan untuk tidak diam.
IX
Di akhir cerita, kursi itu tetap berdiri. Tidak lagi hanya saksi bisu masa lalu, tapi saksi gerakan kecil yang tumbuh. Raka turut serta proses tata kelola desa bagian dari rakyat, bukan penonton. Semua dimulai dari kursi rotan lapuk di beranda itu—pelan, tapi istiqamah.
Dan ketika saya menuliskan cerita ini, kursi itu masih di sana, di desa kecil, di teras rumah kayu yang lapuk. Ia mengajarkan kita:
Perubahan tidak selalu heboh. Kadang, cukup hadir, diam, lalu bergoyang perlahan—bahkan satu ayunan pun cukup untuk mulai membuka jalan baru.