V

Tak ada yang berubah. Jalan desa tetap rusak, listrik padam, guru-guru bergaji kecil, anak-anak tetap kejar setoran fotokopi karena tak sanggup akses internet. Meski data “kemajuan desa” sudah naik, realita di bawah tak merasakan imbasnya.

Raka menemukan tulisan lama kakeknya di sebuah potongan buku harian: “Jika kursi ini tumbang, jangan sampai kata-katanya juga roboh. Biarkan ia menjadi saksi.”

Pasca pemberian kampanye itu, Raka memutuskan untuk meneruskan. Ia mulai membagi fotokopi jurnalnya, merekam lagi cerita warga, lalu membuat blog sederhana bernama Kursi Goyang. Kini video dan tulisan itu mulai beredar: guru honorer bercerita soal hutang tabung gas agar gaji cukup sampai akhir bulan. Bapak petani menjelaskan bahwa pupuk subsidi tidak pernah tiba saat musim tanam.

Beberapa wartawan nasional mengomentari kisah itu: “Aha, ini kisah klasik di banyak desa.” Pemerintah kabupaten merespon—pelan—dengan mendatangi lokasi, memeriksa jalan, menjanjikan perbaikan. Tapi apakah itu bukan “cuma foto setelah motivasi kampanye”?

VI

Seiring waktu, kursi goyang itu tak lagi hanya berbicara tentang masa lalu. Ia jadi alat demokrasi kecil. Setiap Jumat sore, Raka mengundang warga duduk melingkar. Mereka membahas kondisi desa, merumuskan peta aspirasi. Ia mencatat detil: nama jalan rusak, nama guru honorer yang gajinya terlambat, pasien bayi yang menunggu obat.

Data itu dikumpulkan, dilengkapi foto dan kuitansi. Raka menyurati kantor kecamatan dan bupati. Ia melampirkan laporan masyarakat konkret, bukan angka statistik kosong.

Bertahun-tahun Fauzan — kepala desa berikutnya — menanggapi:

“Ini bukti rakyat bisa memantau pembangunan secara mandiri. Seiiring data valid, kami akan tindaklanjuti.”

Warga menyambut positif. Beberapa gotong-royong memperbaiki jalan kecil. Dana desa sebagian dialokasikan bagi mereka secara transparan—disertai berita acara yang ditandatangani kepala desa, imam masjid, dan Raka sendiri.

Di kursi goyang itu, kakek seakan masih tersenyum dari dalamnya.

VII

Di acara 17 Agustus tahun berikutnya, Raka diminta membacakan teks proklamasi. Tangannya gemetar saat menyebutkan kata “merdeka”. Apakah benar merdeka? Bila masih ada warga yang takut bersuara, apakah merdeka itu benar-benar hadir?

Ia membaca sambil sesekali menatap kursi goyang yang berada di kanan panggung—kosong, rotannya tetap retak, namun berdiri kokoh. Hadirin bertepuk tangan; beberapa darah matanya terlihat. “Kami akan memperbaiki jalan,” kata bupati. “Kami akan perbaiki Puskesmas.” Warga menyapa, meminta tolong lewat mikrofon, mencatat kata demi kata.

Raka tahu: ritme itu panjang. Bukan hanya proklamasi tahunan, tidak cukup hanya lampu kamera dan statemen publik. Bukan pahlawan satu hari, bukan plakat dan piagam. Perubahan lahir dari batang tubuh desa yang bekerja pelan—bahkan terlalu pelan—reformasi worthed.

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *