IV

Beberapa hari kemudian, sebuah mobil dinas berhenti di depan rumah. Kepala desa, camat, wartawan lokal, dan seorang kader partai datang bersama-sama. Mereka membawa spanduk besar bertuliskan: “Bapak Dirman, Pahlawan Desa Kita!” Dilampiri plakat dan bingkisan berisi sembako.

Acara ini dihadiri oleh ratusan warga. Kamera foto dan video merekam secara dramatis. Satu pemuda mengambil kutipan pidato dari sang kepala desa:

“Tanpa Bapak Dirman, desa ini tak akan terselamatkan. Jangan biarkan sejarah terhapus.”

Pak Dirman berdiri di atas panggung kecil. Umurnya sudah lanjut, matanya sayu, geraknya lamban. Ia menerima plakat dengan jari gemetar, lalu menatap Raka yang merekam dari jarak dekat.

Meski pada malam itu wajahnya berseri, keesokan harinya ia kembali duduk—di kursi goyangnya yang sama. Debu menempel di rambutnya. Wajahnya kembali dipenuhi garis kelelahan.

“Ini seperti sinetron, Nak. Hiburan sesaat. Setelah lampu mati, cerita kembali ke nol,” ujarnya lirih malam itu, saat kerumunan sudah bubar.

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *