ADVERTISEMENT

Ketika Angka Menghantui Tubuh: Melanjutkan Perbincangan tentang Diet, Gangguan Makan, dan Definisi Sehat

Ada paradoks yang tak kunjung selesai: tubuh yang pulih dari jerat gangguan makan justru kembali disandera oleh saran medis yang kaku. Seperti Amelia Tait, dalam opininya di The Guardian menyatakan, banyak orang menemukan dirinya dihadapkan pada ironi—selamat dari perang dengan anoreksia, hanya untuk diperintah berperang kembali, kali ini dengan kolesterol, gula darah, atau angka lain yang tercetak di selembar kertas laboratorium.

Tubuh Sebagai Medan Kontrol

Narasi kesehatan modern seringkali menempatkan tubuh bukan sebagai rumah, melainkan sebagai proyek pembangunan. Dokter, aplikasi, bahkan media sosial menjadi mandor yang mengawasi. Penelitian Harvard Medical School (2019) menunjukkan bahwa diet restriction yang terlalu ketat dapat memicu relapse pada pasien dengan riwayat eating disorder. American Psychiatric Association pun menegaskan bahwa saran medis yang mengabaikan latar belakang psikologis pasien berisiko memperburuk kondisi mental.

Dengan kata lain, setiap “turunkan berat badan” atau “atur lemak jenuh” yang disampaikan tanpa sensitivitas, bisa menjelma cambuk yang menyakitkan. Angka medis—yang konon netral—nyatanya penuh konsekuensi sosial dan emosional.

Budaya Angka dan Ilusi Sehat

Kita hidup dalam dunia yang diatur oleh penghitung langkah, calorie tracker, dan notifikasi kesehatan. Semua ini tampak ilmiah, padahal banyak riset menyoroti bahayanya. Studi dari University of London (2021) menemukan bahwa penggunaan aplikasi diet berbasis kalori berkorelasi dengan meningkatnya gejala disordered eating pada remaja. Data ini sejalan dengan kritik WHO bahwa obesesi terhadap indeks massa tubuh (BMI) terlalu menyederhanakan kompleksitas kesehatan manusia.

Ketika kesehatan direduksi menjadi angka, tubuh kehilangan makna sebagai pengalaman yang utuh. Kita berolahraga bukan lagi untuk merayakan gerak, melainkan untuk memenuhi target. Kita makan bukan lagi untuk menyuburkan tubuh, melainkan untuk menekan rasa bersalah.

Jalan Keluar: Sehat sebagai Relasi

Mungkin inilah saatnya kita berhenti membicarakan “target kesehatan” dan mulai berbicara tentang “relasi kesehatan.” Sehat bukanlah garis finish, melainkan hubungan yang cair antara tubuh, pikiran, dan lingkungan. Ada hari ketika langkah kaki memberi rasa lega, ada pula ketika sofa dan secangkir teh jauh lebih menyehatkan daripada treadmill.

Para ahli kesehatan masyarakat kini mendorong pendekatan Health at Every Size (HAES), sebuah kerangka yang diakui dalam literatur akademik (lihat Bacon & Aphramor, 2011, Nutrition Journal). HAES menekankan pada perilaku sehat—aktivitas fisik yang menyenangkan, pola tidur yang baik, makanan beragam—tanpa menjadikan penurunan berat badan sebagai indikator tunggal. Pendekatan ini terbukti menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kesehatan mental, tanpa menjerumuskan pasien pada lingkaran diet yang merusak.

Membebaskan Tubuh dari Angka

Narasi kesehatan kita selama ini terjebak pada simplifikasi: bahwa menurunkan berat badan berarti sehat, bahwa angka laboratorium adalah vonis mutlak. Tetapi pengalaman manusia jauh lebih kompleks.

Jika opini Amelia Tait mengajarkan sesuatu, maka itu adalah pelajaran tentang rapuhnya garis antara pemulihan dan kekambuhan—antara disiplin medis dan penjara psikologis. Melanjutkan percakapan ini, yang kita butuhkan bukan sekadar diet baru atau instruksi olahraga terbaru, melainkan perubahan paradigma: dari angka menuju makna, dari kontrol menuju relasi, dari tubuh sebagai proyek menuju tubuh sebagai rumah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!