Islam Nusantara: Perempuan, dan Suara Lain Sunan Kalijaga di Rumah Kesenian
Kilas balik dalam sejarah, wali songo menjadi role model yang dapat dikatakan sangat arif dan bijaksana di dalam menyebarkan islam di Nusantara. Sebutlah kanjeng Sunan Kalijaga dengan seni pewayangannya.
Saat pertama kali menginjakkan telapak perjuangannya, Sunan Kalijaga menapak tilasi tanah Pajajaran hingga Majapahit sebagai seorang dalang. Profesi sebagai dalang, menjadi salah satu tanda kesadaran akan keilmuan sunan kalijaga yang begitu syumul (sempurna).
Ia menyadari bahwa, sebelum melakukan islamisasi di tanah Nusantara, ia perlu membaca bangunan kultur yang telah ada dan mengakar dalam adat masyarakat setempat. Setelah pembacaan yang sempurna, barulah strategi penyesuaian dlilakuan.
Dakwah nilai-nilai Islam, kemudian dikemas dalam balutan kesenian yang indah, yaitu perwayangan. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dalam pertunjukannya, Sunan Kalijaga melakukan rekonstruksi alur dan kisah dalam setiap plot cerita yang dikisahkan, dengan menyisipkan nilai-nilai keislaman. Seperti di antaranya berkisah tentang seorang nabi Khidir yang kemudian dikenalkan dengan sebutan, Dewa Ruci. Kisah lain bertajuk, Jimat Kalimasada (kalimat syahadat).
Tokoh akademisi seperti Agus Sunyoto dalam atlasnya (buku: Atlas Wali Songo) menyampaikan hal tersebut menjadi salah bukti keluasan ilmu dan kematangan aspek emosional Sunan Kalijaga, sebagai seorang pendakwah. Ia tidak serta merta melakukan tindakan tegas dan frontal, menolak dan meruntuhkan suatu kebiasaan yang telah ada, seperti seni di tengah-tengah masyarakat. Melainkan, dengan kecerdasannya, ia membaca bahwa seni, dapat menjadi sebuah jendela kecil untuk menampilkan islam yang rahmatan lil alamin.
Bahkan Sunan Kalijaga melakukan daur ulang bentuk-bentuk wayang yang ditampilkan. Tentu hal ini menjadi tinta emas dalam sejarah intelektual persebaran islam di Nusantara, dan menjadi satu bukti pada masa-masa berikutnya hingga sekarang, bahwa islam, bukan hanya sebuah agama dengan nilai dogmatisasinya yang dikenal jumud dan stagnan, melainkan dalam ajaran islam, terdapat pula sebuah nilai fleksibilitas dalam hal-hal yang berkenaan dengan prinsip wasaiiliyyah (sarana dan prasarana), furuiyyah (sesuatu yang bersifat cabang dalam persoalan agama). Sebab tidak sedikit beberapa orang bahkan tokoh orientalis yang menilai islam, sebagai agama yang tidak inklusif terhadap pembaharuan-pembaharuan, stagnan, dan lain-lain.
Kegagalan dalam memahami Islam antara, mana hal-hal yang bersifat wasailiiyah, furuiyyah, dan mana persoalan-persoalan yang menyangkut ushuliyyah (sesuatu yang pokok dan fundamental dalam agama) yang tidak dapat ditawar-menawar. Kebijaksanaan Sunan Kalijaga dengan gaya berislamnya dalam dakwah. Demikian Islam di Nusantara dengan distingsi adat dan kultur budayanya.
Penulis: Abd. Shovy
Surabaya