Hantu Masa Depan (Hauntology)

Kaca Tanpa Bayang
Kita tidak lagi memiliki rahasia, Kekasih,
Kita adalah rumah kaca di tengah siang bolong,
Memamerkan isi perut dan detak jantung
Pada algoritma yang lapar.
“Aku bisa,” bisikmu,
“Aku bisa melakukan segalanya.”
Dan itulah mantra kutukan kita.
Bukan tuan tanah yang memecut punggungmu,
Tapi ambisimu sendiri yang memegang cambuk.
Kita membakar diri sendiri sampai menjadi abu,
Menyebut kelelahan ini sebagai prestasi,
Di dunia yang licin, mulus, dan transparan,
Di mana misteri mati tercekik cahaya
Dan kita lupa caranya menutup mata.
Mojokerto, 2025
Hantu Masa Depan (Hauntology)
Seolah jarum jam hanya berputar di tempat,
Dan masa depan telah dibatalkan diam-diam.
Kita mendengarkan lagu yang sama,
Memakai baju dari dekade yang telah mati,
Menangisi rindu pada sebuah utopia
Yang bahkan belum pernah kita jamah.
Anak-anak kita tidak bermimpi tentang bintang,
Mereka bermimpi tentang kiamat yang estetik.
Di ujung lorong ini, tidak ada yang baru,
Hanya daur ulang dari reruntuhan kemarin,
Dan kita adalah hantu
Yang gentayangan di dalam museum sejarah kita sendiri.
Mojokerto, 2025
Leviathan Plastik
Jangan bicara soal cuaca,
Bicaralah soal monster yang lengket ini.
Ia tidak berdiri di hadapan kita,
Ia adalah udara yang kita hirup,
Ia adalah mikroplastik di dalam darah,
Ia adalah hujan yang salah musim.
Benda ini terlalu besar untuk mata manusia,
Terlalu masif untuk sebuah bingkai foto.
Kita hidup di dalam perut ikan paus yang sakit,
Berpikir bahwa mematikan lampu satu jam
Akan menghentikan rotasi kehancuran.
Kita begitu kecil, Sayangku,
Dan kengerian ini begitu agung,
Menempel di kulitmu seperti bayangan kedua
Yang tidak akan pernah bisa kau cuci.
Mojokerto, 2025
Tuhan di Dalam Server
Sebelum kau sadar kau menginginkannya,
Layar itu sudah memberikannya.
Ia tahu degup jantungmu saat melihat warna biru,
Ia tahu jeda napasmu saat membaca pesan lalu.
Kita bukan lagi tubuh,
Kita adalah kumpulan data yang menari,
Dividu yang terpecah-pecah menjadi kode biner.
Kehendak bebas adalah ilusi kuno
Di hadapan prediktor yang maha tahu.
Mereka mencuri masa depanmu, detik demi detik,
Untuk dijual kembali kepadamu sebagai nasib.
Dan kita tersenyum,
Sujud di hadapan altar cahaya,
Bersyukur atas kenyamanan rantai digital ini.
Mojokerto, 2025
Monolog Benda Mati
Duduklah diam, dan perhatikan kursi itu.
Ia tidak ada di sana untukmu.
Ia menyimpan rahasia wujudnya sendiri,
Sebuah kedalaman yang tak tersentuh oleh pandanganmu.
Kita manusia yang sombong,
Mengira semesta hanyalah panggung drama kita.
Padahal batu di sungai,
Kabel di dinding,
Dan debu di lantai,
Memiliki sunyi mereka masing-masing.
Mereka menarik diri, menjauh,
Acuh tak acuh pada tangismu atau tawamu.
Di dunia yang penuh benda ini,
Mungkin kitalah yang sebenarnya asing.
Mojokerto, 2025
Aksioma Dua
Dunia menyuruh kita mencari kenyamanan,
Mencari kesepakatan,
Mencari cermin yang memantulkan wajah sendiri.
Tapi cinta, katamu, bukanlah kontrak dagang.
Cinta adalah sebuah Peristiwa.
Sebuah ledakan yang merobek logika “aku” dan “kamu”,
Memaksa kita membangun dunia dari sudut pandang “Dua”.
Ini adalah tugas yang berbahaya,
Mempertahankan kebenaran di tengah badai,
Bahwa pertemuan kita bukan sekadar kebetulan,
Tapi deklarasi perang melawan kesepian semesta.
Cinta adalah satu-satunya pemberontakan yang tersisa
Di zaman yang menghitung untung rugi dalam pelukan.
Mojokerto, 2025
Editor: Andi Surianto