Bukan Sekadar Jalan-Jalan: Oleh-Oleh Pemikiran dari Jantung Diplomasi Komunitas di Malaysia

Biasanya, orang ke Malaysia cari apa? Nasi lemak? Menara Kembar? Nah, perjalanan saya ke Kuala Lumpur kemarin sedikit beda. Ini bukan traveling biasa, tapi lebih mirip misi diplomasi personal. Saya menyebutnya diplomasi “ala komunitas”—bukan yang kaku antar pejabat, tapi antar manusia.
Saya niat ingin menyambangi langsung saudara-saudara kita, diaspora Indonesia, untuk mendengar cerita mereka dan mencari celah kolaborasi. Dan ternyata, apa yang saya dapatkan jauh melebihi ekspektasi.
Ngobrol Santai yang Membuka Mata
Perhentian pertama saya adalah ngobrol santai dengan Pak Fauzi, “nakhoda”-nya Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Muhammadiyah Malaysia. Awalnya kami bicara ringan soal dakwah, tapi obrolan cepat bergeser ke isu yang, jujur saja, bikin saya terenyuh: pendidikan.
Ngobrol santai dengan Pak Fauzi, saya baru sadar betapa luar biasanya perjuangan mereka mengelola SB (Sekolah Bimbingan Indonesia). Ini adalah sekolah untuk anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mungkin terlewat dari sistem formal. Di sinilah saya melihat diplomasi sejati: komunitas turun tangan langsung, memastikan anak-anak kita tetap bisa sekolah. Bukan sekadar teori di atas kertas, tapi aksi nyata.
Beda lagi ceritanya waktu saya ketemu Pak Umar. Wah, beliau ini sosok super sibuk! Bayangkan saja, beliau adalah Ketua PCI NU Malaysia sekaligus “wasit” demokrasi kita di sana sebagai Ketua KPU Malaysia. Dengar cerita beliau, saya jadi paham betapa kompleksnya mengurus organisasi komunitas sekaligus tantangan hectic-nya menyelenggarakan Pemilu di negeri orang. Salut!
Energi Baru dari Lintas Generasi dan Pandangan
Perjalanan saya makin lengkap setelah kopdar dengan teman-teman kader HMI Cabang Istimewa Malaysia. Semangat dan idealisme mereka itu “nular”, mengingatkan saya betapa pentingnya peran anak muda di mana pun mereka berada.
Nggak berhenti di situ, saya juga dapat kesempatan emas untuk sharing dan bertukar pandangan dengan Ketua Partai NasDem Malaysia dan perwakilan PDI Perjuangan di Malaysia. Ini baru namanya “politik diaspora”. Saya jadi melihat bagaimana denyut nadi politik Indonesia tetap kencang terasa, bahkan dari seberang Selat Malaka.
“Oleh-Oleh Pemikiran” untuk Kampus Tercinta
Dari semua obrolan itu—dari isu pendidikan anak PMI, logistik pemilu, sampai semangat anak muda—saya pulang membawa satu “oleh-oleh pemikiran” penting, khususnya untuk almamater saya, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Ada satu masukan yang terus terngiang di kepala saya, yang rasanya seperti sebuah konfirmasi:
“UMM itu sudah on the right track banget menjadikan tema energi sebagai fokus utama mahasiswa baru 2025/2026. Kenapa? Karena energi itu isu global.”
Ini seperti validasi. Di tengah semua keruwetan masalah, fokus UMM pada isu energi terasa sangat tepat. Ini bukan cuma soal listrik atau minyak, tapi soal masa depan, soal kedaulatan, dan soal keberlanjutan hidup kita semua.
Jadi, “oleh-oleh” rekomendasinya jelas: UMM harus terus “meningkatkan keterlibatan secara konsep maupun praktis” dalam isu pembangunan berkelanjutan. Kampus harus makin “basah”—nggak cuma jago di teori, tapi juga lincah dalam aksi nyata di lapangan.
Janji Setelah Pulang
Saya pulang dari Malaysia bukan bawa gantungan kunci Menara Kembar. Saya bawa pulang “PR” baru, jejaring baru, dan yang paling penting, semangat baru.
Sesuai janji kami di sana: “Kita akan terus menjaga komunikasi ini… sampai terbentuknya program nyata.”
Obrolan hangat di Kuala Lumpur kemarin bukanlah akhir. Ini adalah awal. Perjalanan ini membuktikan satu hal: diplomasi paling efektif itu seringkali dimulai bukan di ruang rapat formal, tapi dari secangkir kopi dan obrolan tulus antar komunitas.