ADVERTISEMENT

Budi Arie dan Projo: Adaptasi Historis Relawan Pasca-Figur

Budi Arie Projo Mania
Ilustrasi Budi Arie Projo

Fenomena seputar Budi Arie Setiadi sebagai Ketua Umum Projo (Pro-Jokowi, yang kini mengklaim berarti ‘negeri dan rakyat’) adalah sebuah cerminan klasik dari dilema historis yang dihadapi kelompok relawan pasca-figuran di Indonesia. Dilema ini muncul ketika figur yang mereka dukung telah mencapai akhir masa jabatannya, atau telah berkoalisi dengan kekuatan politik baru.

Titik Krisis Historis: Melepaskan Diri dari Kultus Individu

Secara historis, kelompok relawan seperti Projo lahir karena adanya kultus individu yang sangat kuat—yakni figur Joko Widodo. Loyalitas emosional ini adalah modal utama mereka, tetapi sekaligus menjadi kelemahan struktural.

Keputusan Projo, yang dipimpin Budi Arie, untuk mengubah logo organisasi dan menghapus siluet wajah Jokowi adalah upaya monumental untuk melepaskan diri dari ketergantungan historis tersebut. Analisis sejarah menunjukkan bahwa tindakan ini adalah upaya untuk mendefinisikan kembali entitas mereka sebagai organisasi dengan visi jangka panjang yang melampaui masa jabatan satu presiden. Ini adalah langkah de-figurisasi yang diperlukan untuk mencapai keberlanjutan.

Dalam sejarah politik, patronase adalah kunci. Projo dulunya berada di bawah patronase Jokowi. Pasca-Pilpres 2024, Projo secara cepat dan tegas beralih mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Fenomena ini menunjukkan adaptasi pragmatis yang cepat, mencari patronase politik baru untuk memastikan kelangsungan hidup dan akses terhadap sumber daya negara. Kongres III Projo dengan tegas mengadopsi resolusi untuk mendukung pemerintahan Prabowo, menunjukkan bahwa kelangsungan eksistensi mereka bergantung pada kedekatan dengan pusat kekuasaan yang sah.

Solusi Pragmatis: Co-optation (Alih Kepemilikan) melalui Kaderisasi Personal

Alih-alih memilih jalur yang sulit dan mahal—yaitu bertransformasi menjadi parpol mandiri, yang secara historis terbukti gagal karena adanya ambang batas parlemen—Projo di bawah Budi Arie memilih solusi pragmatis yang unik: Integrasi Personal ke dalam Parpol Mapan.

Budi Arie menyatakan bahwa Projo tidak akan menjadi parpol, tetapi kader-kadernya akan bergabung dengan partai politik. Keputusan ini adalah pengakuan atas kendala struktural yang telah dijelaskan sebelumnya: modal finansial dan ambang batas elektoral. Secara historis, mendirikan parpol baru pasca-Reformasi adalah jalan terjal yang hanya mampu dilalui oleh segelintir elite yang memiliki sumber daya tak terbatas.

Pernyataan Budi Arie yang ingin bergabung ke Partai Gerindra atas permintaan langsung Presiden Prabowo adalah kunci utama fenomena ini. Ini adalah jalan pintas historis untuk mengatasi dilema kekuasaan. Daripada membangun mesin politik dari nol, Budi Arie dan kader inti Projo memilih untuk menjadi kader co-opted (direkrut) yang langsung menempati posisi strategis di dalam parpol pemenang. Hal ini memastikan akses kekuasaan mereka untuk mendapatkan hak formal guna memengaruhi kebijakan melalui partai utama pemerintah. Selain itu kepastian jaringan, mereka mewarisi struktur dan jaringan Gerindra yang sudah mapan.

Konsekuensi Historis Jangka Panjang

Fenomena Budi Arie dan Projo menandai sebuah fase baru dalam politik relawan di Indonesia: Relawan sebagai Feeder (Penyuplai Kader). Dengan bergabung ke Gerindra, Budi Arie secara sadar merelakan sebagian identitas Projo-nya melebur ke dalam identitas Gerindra. Projo, sebagai organisasi, kemungkinan akan berubah fungsi menjadi ormas pendukung yang beroperasi di bawah payung besar Gerindra atau koalisi pemerintah. Secara historis, ini adalah nasib umum bagi gerakan ad-hoc yang berhasil: mereka akhirnya diserap oleh institusi politik yang lebih besar untuk menjadi lengan mobilisasi massa di tingkat akar rumput.

Melalui strategi ini, Projo mencoba memastikan kontinuitas agenda kerakyatan yang mereka klaim, dengan menempatkan kadernya di dalam partai yang memegang kekuasaan (Gerindra). Ini adalah cara Projo untuk mengubah energi moral masa lalu menjadi posisi politik permanen di masa depan.

Secara ringkas, fenomena Budi Arie dan Projo adalah ilustrasi historis yang jelas tentang bagaimana kelompok relawan beradaptasi di tengah krisis patronase: mereka memilih jalur pragmatis co-optation personal dan kelembagaan demi mendapatkan kepastian kekuasaan, daripada mengambil risiko historis mendirikan parpol baru yang rentan gagal. Mereka bertransformasi bukan menjadi partai, melainkan menjadi agen pelembagaan yang disalurkan ke parpol pemenang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *