ADVERTISEMENT

Arga dalam Perkara Abadi

Arga duduk di kontrakan sempitnya, sebuah kamar berukuran tiga kali empat meter dengan dinding yang catnya mulai terkelupas. Malam sudah lewat pukul sebelas, tapi matanya masih menolak terpejam. Di luar, suara motor masih sesekali menderu melewati gang, bercampur dengan tawa anak muda yang pulang nongkrong.

Di meja reyot peninggalan penyewa lama, Arga menaruh setumpuk kertas bekas yang ia ambil dari kantor. Di tangannya ada sebuah pena murahan, tinta birunya sudah hampir habis. Ia menatap kertas kosong itu lama sekali, seolah sedang berhadapan dengan musuh besar.

“Aku harus menuliskan ini,” gumamnya.

Bukan laporan kerja, bukan daftar pengeluaran, bukan juga lamaran pekerjaan baru. Ia menuliskan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: sebuah gugatan terhadap Kenyataan.


Hari-hari Arga selalu berjalan dengan pola yang sama. Pagi terburu-buru mandi, berangkat kerja menembus macet, duduk delapan jam di depan komputer mengisi data dan menulis laporan. Pulang, badannya sudah letih, hanya bisa membuka ponsel lalu tertidur.

Kadang ia berpikir, apakah begini memang hidup orang kebanyakan? Lahir, sekolah, kerja, menikah, punya anak, lalu mati. Pola yang seolah sudah disepakati tanpa musyawarah.

Sejak kuliah, ia sudah mendengar kalimat itu berkali-kali: “Nanti kalau sudah lulus, cepat cari kerja. Setelah kerja, jangan lupa tabungan buat nikah. Setelah nikah, cepat punya anak. Setelah punya anak, jangan lupa cicilan rumah.”

Semua terasa seperti jalan tol yang panjang dan lurus. Tidak ada tikungan, tidak ada jalur alternatif. Dan di sepanjang jalan itu ada plang raksasa bertuliskan: “Inilah normalitas.”

Arga sudah mencoba berjalan di jalan tol itu. Ia bekerja, mengumpulkan gaji, ikut arisan kantor, sesekali jalan dengan teman. Tapi ada ruang kosong dalam dirinya yang tidak pernah terisi. Seolah hidupnya bukan miliknya, melainkan milik sesuatu yang lebih besar, lebih samar, yang bernama Kenyataan.


Malam itu, ia menulis di kertas pertama:

“Saya, Arga, manusia biasa, dengan ini menggugat Kenyataan atas tuduhan penipuan massal.”

Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum kecut. Tentu saja ia tahu tak ada pengadilan yang akan menerima gugatan semacam itu. Tapi ia butuh menuliskannya. Jika tidak, pikirannya akan terus meledak.

Ia menuliskan satu persatu dakwaan:

  1. Kenyataan memaksa anak-anak untuk duduk di bangku sekolah berjam-jam, menghafal angka dan teori yang bahkan tak mereka pahami, lalu menertawakan jika mereka lebih suka menggambar atau bermain.
  2. Kenyataan menjerat orang muda dengan janji kebebasan lewat pekerjaan, padahal pekerjaan itu hanya menukar waktu dengan uang, lalu uang habis untuk membayar tagihan.
  3. Kenyataan mengikat manusia dengan kata “normal” dan mengasingkan siapa pun yang mencoba menyimpang dari jalurnya.

Setelah menulis tiga poin itu, Arga menarik napas panjang. Ia merasa sedang benar-benar berada di ruang sidang, berbicara di depan hakim dan orang banyak.


“Arga, apa kau pikir bisa hidup seenakmu saja?” suara ibunya bergema di kepalanya. “Kalau tidak sekolah yang benar, mau jadi apa?”

Lalu suara bosnya: “Kita semua lelah, Ga. Tapi kalau tidak kerja, mau makan apa?”

Lalu suara temannya: “Kau belum nikah juga? Nanti keburu tua, lho. Orang hidup itu ya normal-normal saja. Jangan aneh-aneh.”

Semua suara itu berdatangan, seperti saksi yang dipanggil oleh Kenyataan untuk membela dirinya.

Arga menutup telinga, meski suara itu tetap saja memenuhi kepalanya.


Ia menuliskan kesaksian lain—bukan dari orang lain, tapi dari dirinya sendiri di masa lalu.

Saksi pertama: Arga kecil, berseragam SD, duduk di bangku kayu panjang. “Aku ingin menggambar dinosaurus, tapi guruku bilang itu buang waktu. Aku disuruh menghafal perkalian.”

Saksi kedua: Arga umur 25, baru masuk kerja. “Aku kira kerja itu membebaskan. Tapi aku malah jadi budak target. Gajiku habis untuk bayar kos dan makan, tak ada sisa untuk bermimpi.”

Saksi ketiga: Arga yang sudah tua, duduk di kursi plastik dengan rambut memutih. “Aku sudah jalani semua yang diperintahkan Kenyataan. Tapi aku kosong. Aku tak pernah benar-benar jadi diriku sendiri.”

Arga membaca ulang tiga kesaksian itu. Tenggorokannya tercekat. Ia merasa benar-benar sedang mengadili sesuatu.

Baca Juga
Namaku Kinda

Di luar kamar, kontrakan mulai sepi. Lampu tetangga sudah padam, hanya suara jangkrik yang terdengar. Arga masih duduk, menatap kertas-kertas yang berserakan.

“Apa gunanya semua ini?” pikirnya. Gugatan ini tak akan pernah masuk ke pengadilan mana pun. Tak ada hakim yang mau membacakan vonis.

Namun di sisi lain, menulis membuatnya merasa lebih hidup daripada rutinitas yang ia jalani setiap hari.

Ia sadar, gugatan itu bukan untuk dimenangkan. Gugatan itu untuk mengingatkan dirinya sendiri: bahwa ia masih punya hak memilih, sekecil apa pun pilihan itu.

Ia bisa memilih untuk tetap menggambar meski hanya di pojok kertas laporan. Ia bisa memilih membaca buku puisi di bus kota, alih-alih terus menatap layar ponsel. Ia bisa memilih menunda pernikahan, meski semua orang mendesak.


Arga berdiri, berjalan ke cermin kecil di dinding. Ia menatap wajahnya sendiri. Pucat, rambut berantakan, kantong mata menghitam. Tapi di balik semua itu, ia melihat seberkas cahaya kecil—entah ilusi atau keyakinan baru.

“Kalau aku terus diam,” bisiknya pada bayangannya sendiri, “aku hanya akan jadi angka statistik. Satu dari jutaan orang yang hidup normal tapi mati pelan-pelan.”

Ia kembali ke meja, menuliskan kalimat terakhir pada kertas paling atas:

“Aku bukan ingin menang melawan Kenyataan. Aku hanya ingin menolak untuk mati sebelum waktunya.”

Ia melipat kertas itu rapi, menyelipkannya di bawah bantal.

Besok pagi, ia tahu, hidupnya akan tetap sama. Ia tetap harus bekerja, menembus macet, menatap layar komputer. Hidup tak langsung berubah hanya karena secarik kertas.

Namun malam itu, Arga tidur dengan perasaan yang berbeda. Gugatan itu, meski tak pernah dibacakan di ruang sidang mana pun, sudah membuatnya merasa lebih manusia daripada semua tahun rutinitas sebelumnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!