Ketika Diam Menjadi Perang yang Tak Terlihat

Ada satu kalimat yang pernah menamparku dengan lembut, tapi meninggalkan bekas lama:
“Unspoken expectations are premeditated resentment.”
— Neil Strauss
Ekspektasi yang tidak diucapkan adalah kebencian yang direncanakan.
Begitu aku membacanya, aku terdiam. Karena di dalamnya, aku melihat diriku sendiri.
Aku teringat malam ulang tahun yang sunyi itu. Aku menunggu dengan hati yang berdebar—menunggu pintu dibuka, bunga di tangan, tatapan hangat penuh cinta. Tapi yang datang hanyalah ucapan cepat dan bungkusan nasi goreng yang masih mengepulkan asap. Aku tersenyum, tapi di dalam, ada sesuatu yang pecah. Bukan karena nasi goreng itu buruk, tapi karena aku sudah membangun sebuah cerita di kepalaku… dan cerita itu tak pernah menjadi kenyataan.
Di tempat kerja pun sama. Betapa sering kita mengira orang lain “pasti tahu” apa yang kita harapkan. Seorang manajer percaya timnya mengerti bahwa lembur adalah hal yang wajar di minggu ini. Tapi tanpa satu pun kata diucapkan, semua pulang tepat waktu. Esoknya, kekecewaan menyelimuti ruangan, dingin dan diam-diam.
Dan di antara teman… oh, betapa seringnya kita melakukannya. Mengira semua orang akan ikut patungan untuk kado sahabat. Tidak ada yang berkata, tidak ada yang bertanya. Hingga waktu berlalu, dan kita menyimpulkan: “Mereka tak peduli.” Padahal yang sebenarnya terjadi: mereka tak pernah tahu.
Neil Strauss benar. Diam sering kali bukan sekadar tenang—diam bisa menjadi pisau yang menunggu untuk menusuk. Saat kita menyimpan ekspektasi tanpa mengucapkannya, kita sebenarnya sedang menulis undangan untuk sebuah kekecewaan. Kita menciptakan perang kecil yang tak terlihat, hanya menunggu waktu untuk meledak.
Jadi, aku belajar. Mengatakan apa yang kuinginkan bukan berarti aku lemah, atau egois. Itu berarti aku memilih hubungan yang jujur, bukan permainan tebak-tebakan. Aku memilih menghindari perang yang tak perlu.
Karena kadang, satu kalimat sederhana bisa menyelamatkan kita dari bertahun-tahun rasa kecewa yang tak terucapkan.