Namaku Kinda

Kau adalah postingan baru yang menenggelamkan namanya dari berandaku. Aku tak tahu persis kapan kau mulai muncul. Mungkin ketika aku tak sengaja menyentuh tombol suka pada fotomu yang terlalu terang, terlalu dekat, terlalu kau. Atau mungkin saat kau membalas story-ku dengan satu emoji api—yang entah kenapa membuatku ingin membakar seluruh kenangan tentang dia.
Namaku Kinda. Dan sejak malam itu, pelan-pelan kau menjadi satu-satunya suara di dalam kepala yang dulu penuh gema namanya. Kau bukan hanya tampilan digital, bukan sekadar wajah yang muncul dalam ponselku. Kau adalah algoritma baru yang menyusup perlahan, menggantikan jejak yang sempat kutandai sebagai abadi. Tapi aku tahu, tidak ada yang abadi di linimasa ini.
Awalnya, aku hanya melihatmu selintas. Seperti iklan yang muncul saat aku menonton sesuatu yang lebih penting: masa lalu. Tapi kau konsisten. Kau hadir di antara sela-sela pikiranku, seperti notifikasi yang tak bisa kuswipe ke kiri. Tanpa suara, tanpa gegap gempita, kau menyusup ke dalam algoritma hidupku yang berantakan.
Kau berbeda. Caption-captionmu tidak mencoba menyenangkan siapa pun. Pendek, tajam, jujur. Tidak seperti dia yang menyembunyikan luka dalam pameran kebahagiaan. Kau tampil mentah, meledak, tanpa editan. Kau membuatku berhenti scroll. Aku berhenti. Di kau.
Tapi luka lama tidak pergi begitu saja. Kilas balik selalu datang tanpa aba-aba. Kadang saat cahaya sore memantul di kaca jendela, membentuk siluet tubuhnya yang masih terlalu nyata. Kadang saat lagu random diputar oleh Spotify. Aku dan dia pernah viral, bukan hanya di layar, tapi juga di kepala orang-orang yang ikut menonton drama kami. Kami tahu cara jatuh cinta seperti trending FYP, dan juga tahu cara membusuk bersama tanpa pengakuan.
Hari terakhir bersamanya tidak dramatis. Tidak ada unfollow, tidak ada block. Hanya sunyi. Seperti lagu yang berhenti di tengah tanpa alasan. Seperti notifikasi yang tiba-tiba mati. Seperti koneksi yang putus tapi tidak pernah diputuskan.
Kau datang tanpa suara. Dengan langkah kecil, dengan kalimat-kalimat yang tidak pernah mencoba mengobati. Kau tidak menawarkan lupa. Kau hanya menawarkan dengar. Tapi aku takut. Takut menjadikanmu sekadar pelarian, filter baru untuk wajah lama yang terus muncul di feed ingatanku. Aku takut menukar trauma dengan kenyamanan palsu.
Malam-malam panjang menjadi ladang konflik. Antara ingin menyimpan fotomu atau menghapusnya sebelum aku terlalu dalam. Antara ingin mengaku mencintaimu atau tetap diam seperti draft yang tak pernah dipublikasikan. Tapi cinta memang selalu liar. Ia datang seperti virus di ponsel yang kita kira aman. Dan aku telah terinfeksi. Oleh kehadiranmu, oleh tatapanmu yang tidak menuntut, oleh senyum yang hanya muncul sekali tapi cukup untuk mengguncang folder hatiku yang paling dalam.
Kau memberiku ruang. Tidak pernah menuntut penjelasan tentang masa lalu. Tapi justru karena itu aku merasa bersalah. Karena kau memberiku apa yang tak pernah aku minta, dan aku belum bisa sepenuhnya memberimu kembali.
Hingga malam itu. Malam saat namanya kembali muncul. Sebuah DM kosong dari masa lalu yang belum tuntas. “Apa kabar?” katanya. Sederhana. Tapi menghancurkan seperti malware. Aku membaca berkali-kali. Aku tidak membalas. Tapi aku juga tidak menghapusnya. Layar ponsel menjadi cermin. Dan di sana, aku melihat diriku yang belum sembuh.
Keesokan harinya, aku menemuimu. Di meja kayu yang masih menyimpan bekas kopi kita. Aku mengatakan semuanya. Tentang dia. Tentang pesan itu. Tentang ketakutanku.
“Kau ingin kembali?” tanyamu pelan. Matamu tidak marah. Tapi kecewa. Dan itu lebih menyakitkan.
Aku tidak tahu. Aku hanya menatap ujung gelas. Tapi diamku terlalu lama, dan diam bisa membunuh. Kau tahu itu.
“Aku tidak ingin jadi pelampiasan,” katamu. “Aku ingin jadi alasan.”
Kata-kata itu menamparku. Tapi aku butuh tamparan itu. Karena aku pengecut. Aku selalu membiarkan orang lain mengambil keputusan untukku. Aku tak pernah benar-benar memilih.
Malam itu, aku membalas pesannya: “Aku baik. Tapi aku sudah bukan yang dulu.”
Tidak ada balasan. Dan aku tidak menunggu. Untuk pertama kalinya, aku tidak menunggu.
Hari-hari setelahnya, aku mencoba mencintaimu. Dengan cara yang baru. Dengan ketakutan yang tetap ada tapi tak lagi membelenggu. Aku menyusun ulang hidupku. Menghapus folder yang tak perlu. Menyimpan percakapan kita di tempat paling aman di cloud dan hati.
Aku mulai mengenalmu lebih dalam. Dari hal-hal kecil: cara kau menyebut namaku tanpa tergesa, cara jarimu mengetuk meja saat menunggu kopi, cara kau menatap langit dan mendesah, seolah bintang-bintang adalah pertanyaan yang tak kunjung dijawab.
Tapi cinta tidak selalu cukup. Tidak untukku. Tidak untukmu. Dan ketidaksempurnaan itu tumbuh. Diam-diam. Kau mulai berubah. Tidak drastis, hanya sedikit-sedikit. Kau mulai tidak membalas pesanku secepat dulu. Kau mulai mengabaikan tagar yang kukirim diam-diam. Caption-captionmu jadi lebih panjang, lebih sarkastik. Kau sedang bicara padaku, tapi lewat orang lain.
Aku tahu. Aku tahu aku terlambat benar-benar mencintaimu. Aku tahu aku membuatmu lelah. Tapi aku masih ingin bertahan. Seperti update yang tak selesai diunduh. Seperti koneksi yang terus terputus di tengah. Aku masih ingin mencoba.
Tapi kemudian, kau menghilang. Tanpa pesan. Tanpa notifikasi. Seperti semua orang yang pernah kucintai: kau memilih diam sebagai bentuk akhir.
Aku mencarimu. Aku DM, aku mention, aku bahkan menelepon. Tidak ada jawaban. Hingga suatu sore, aku melihatmu bersama seseorang. Di story orang lain. Tertawa. Tersenyum. Bahagia dengan cara yang tak bisa kuberi.
Hatiku retak. Tapi bukan karena kau berpindah. Tapi karena aku tak bisa menyalahkanmu.
Malam itu, aku menenggak botol-botol yang kubeli di minimarket yang bahkan tidak meminta KTP. Pil yang seharusnya membuatku tidur malah membuatku menulis. Aku menulis surat yang tidak akan kukirim. Tentang kamu. Tentang dia. Tentang aku yang tidak tahu cara dicintai dengan benar.
“Cinta bukan untuk dimenangkan. Cinta adalah medan tempur, dan aku tidak pernah belajar cara berperang.”
Aku tidak menangis malam itu. Aku hanya diam. Menghapus aplikasimu dari ponselku, tapi tidak dari pikiranku. Aku masih mengingat notifikasi-notifikasi kecil yang membuatku berharap. Hal-hal kecil yang memberiku nafas, sebelum semuanya jadi sia-sia.
Aku menyalakan musik, keras. Playlist yang kau buatkan dulu masih ada. Ironis. Lagu-lagu itu masih menyayat, meski suaranya tak lagi nyaring di telingamu. Aku berbaring dengan pikiran yang kosong. Di sebelahku, layar ponsel masih menyala. Nama kontakmu masih tersimpan dengan emoji hati yang dulu kita sepakati. Aku tidak menghapusnya. Aku tidak bisa.
Pagi itu, tubuhku dingin. Aku tidak bangun. Tapi orang-orang akhirnya membaca apa yang kutinggalkan. Postingan terakhirku:
“Kau tetap jadi algoritma yang ingin kuikuti… sampai habis memoriku.”
Namaku Kinda. Dan aku adalah draft terakhir yang tidak pernah dipublikasikan.
Dan kau tidak pernah membalas. Karena dalam hidup ini, tidak semua cinta harus dibalas. Kadang, cukup untuk dikenang. Atau dilupakan, jika itu lebih manusiawi.
Postingan tentangku viral. Tapi seperti semua yang viral, ia akan tenggelam juga. Sama seperti aku.
Dan aku harap, di satu sisi dunia digital yang lain, kau masih menyimpanku. Di folder rahasiamu. Atau dalam notifikasi yang tak pernah kau matikan.
Aku hanya ingin diingat. Meski hanya sebagai kenangan yang tidak berhasil dihapus sempurna dari cache hatimu.
Namaku Kinda. Jika mereka masih ingat.
Aku selalu percaya bahwa setiap orang membawa satu luka yang tak bisa disimpan di punggung. Luka itu harus dibawa di dada, agar kita tahu ia masih berdetak. Luka yang kutanggung sejak kecil tidak bersuara. Ia tumbuh bersama ketidaktahuan, bersama pembiasaan, bersama cara-cara diam mencintai yang diwariskan turun-temurun.
Ibuku mencintai dalam diam. Ia menatap ayahku yang mencintai orang lain dengan mata penuh air yang tidak pernah tumpah. Ia menanak nasi seperti menunggu sesuatu yang tidak akan pulang. Aku tumbuh dalam rumah yang sunyi, tempat cinta tidak pernah disebut, hanya diasumsikan.
Dari situlah mungkin aku belajar. Bahwa mencintai adalah menahan. Bahwa rindu adalah urusan satu arah. Bahwa kehilangan bukan datang dari perpisahan, tapi dari kehadiran yang tidak pernah utuh.
Ketika pertama kali aku mengenal cinta, aku tidak tahu harus bicara apa. Kata-kataku macet. Tanganku gemetar. Aku menulis namanya di balik buku catatan, berharap ia akan tahu hanya dari getar halaman.
Orang pertama yang mencintaiku bukan orang pertama yang kucintai. Itu pun kuterima. Aku pikir hidup memang seperti itu. Tidak semua orang mendapatkan yang mereka pilih. Kadang kita hanya menjadi pilihan kedua dari seseorang yang jadi pilihan pertama kita. Dan aku bertahan di sana, bertahun-tahun. Hingga patah tidak terasa seperti kejadian, tapi rutinitas.
Lalu aku dewasa. Lalu aku jadi terlalu terbiasa sendiri. Lalu aku mengenalmu.
Kau datang seperti notifikasi yang tak pernah kuminta. Tapi kupelajari. Kupahami. Dan, untuk pertama kalinya, aku ingin mencintai bukan karena aku butuh seseorang, tapi karena aku ingin memilih seseorang.
Tapi bahkan cinta yang dipilih dengan sadar bisa gagal.
Kau mulai menghindar. Aku mulai bertanya. Aku terlalu banyak menebak. Kau terlalu sedikit menjawab. Kita seperti dua titik dalam GPS yang sinyalnya hilang. Saling mencari, tapi tak pernah benar-benar ketemu.
Aku menuliskan semua itu dalam catatan terakhirku. Bukan untukmu. Tapi untukku. Untuk bagian diriku yang masih ingin percaya bahwa cinta itu nyata, bahkan jika tak selamanya.
Sekarang aku menghilang dari feed-mu. Tidak lagi muncul di berandamu. Tidak ada lagi story, tidak ada lagi likes, tidak ada lagi aku.
Tapi jika suatu hari kau bangun dan melihat satu kenangan muncul di ponselmu—foto kabur, tempat kopi yang pernah kita datangi, atau kutipan sarkastik yang kutulis untuk menyembunyikan harapan—biarkan itu menjadi pengingat. Bahwa aku pernah ada. Bahwa aku pernah memilihmu. Bahwa aku pernah mencoba.
Dan kalau kau pernah merasa bersalah, jangan. Aku tidak ingin dikenang sebagai beban. Aku hanya ingin menjadi jejak, seperti sidik jari di layar: samar, tapi pernah menyentuh sesuatu yang penting.
Namaku Kinda. Dan aku harap, setelah semua ini, aku tetap jadi notifikasi yang tidak kau matikan.
Setelah Semuanya Terlambat
Aku tidak tahu sejak kapan keheningan ini terasa begitu berat. Mungkin sejak Kinda berhenti muncul di berandaku. Bukan karena dia menghapus akun. Bukan karena kami saling memblokir. Tapi karena dunia tiba-tiba memutus sambungan ke arahnya. Seperti algoritma yang kehilangan arah, dan aku dibiarkan mencari sesuatu yang tak lagi bisa diketik di kolom pencarian.
Namanya masih ada. Di chat, di cloud, di memo yang tak sengaja tersimpan. Tapi tak ada tanda hijau. Tak ada story baru. Tak ada puisi satir yang dulu membuatku merasa ditertawakan dan dicintai dalam satu waktu.
Awalnya aku pikir dia hanya marah. Lalu menghindar. Lalu mungkin diam-diam mencintai yang lain. Tapi setelah kabar itu datang—seperti petir yang terlambat menyambar—aku tahu, ini bukan lagi tentang kami. Ini tentang aku yang terlambat.
Aku membaca ulang semua pesannya. Kalimat-kalimatnya yang sering kusebut “berlebihan.” Kini terasa seperti sabda yang tak sempat kupahami. Aku mendengar suaranya dalam kepalaku, menyebut namaku pelan, dalam nada kecewa yang dulu kuabaikan karena aku terlalu sibuk menata kebebasanku.
Dia pernah bilang, “Jangan tunggu aku pergi untuk mengakui kehadiranku.”
Aku pikir itu ancaman. Ternyata peringatan.
Kini aku menyesal bukan karena dia sudah tidak ada. Tapi karena aku tidak ada untuknya, ketika ia paling butuh diyakini. Aku terlalu pelit memberi kepastian. Terlalu hemat dengan pelukan. Terlalu kikir dalam menjawab pertanyaannya yang kelihatan sepele, padahal itu satu-satunya cara dia mengecek: apakah aku masih peduli.
Aku tidak bisa menangis. Rasanya seperti dilarang oleh dosa-dosa yang kutanam sendiri. Tapi setiap malam, aku membacakan namanya dalam hati. Sebagai doa. Atau mungkin sebagai permintaan maaf yang tidak pernah cukup.
Jika waktu bisa diulang, aku tidak akan memintanya untuk tetap tinggal. Aku akan memintanya untuk tetap hidup. Untuk tetap menulis. Untuk tetap marah padaku, jika itu membuatnya bertahan.
Namanya masih kusimpan. Di galeri. Di memori. Di sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ruang penyimpanan. Dan jika ini adalah bentuk kehilangan yang paling kekal, maka biarkan aku jadi pengingatnya.
Dia tidak viral. Dia tak butuh itu. Tapi dia nyata. Lebih nyata dari semua cinta yang pernah kupamerkan.
Dan jika kelak aku bisa menulis satu postingan terakhir untuknya, aku akan tulis begini:
“Maaf. Aku tahu sekarang. Tapi kau sudah terlalu jauh untuk mendengar.”
Lalu kubiarkan layar ponselku tetap menyala, dengan foto terakhirnya sebagai wallpaper. Dalam foto itu, ia tidak tersenyum. Ia hanya menatap lurus ke arah kamera. Seperti tahu bahwa kelak, tatapan itu akan menghantuiku.
Hari-hari berlalu, tapi aku tidak bangkit. Tidak seperti biasanya. Tidak seperti orang-orang kira. Aku terus membuka ulang notifikasi yang tak kunjung datang, memutar ulang suaranya dari potongan audio yang disimpan tanpa sengaja. Aku mencoba menulis, tapi kata-kataku kehilangan rumah. Tidak ada lagi nada. Tidak ada lagi sarkasme. Hanya ruang kosong.
Pada suatu malam, saat hujan begitu kencang memukul jendela, aku kembali ke tempat kami terakhir duduk bersama. Meja kayu itu masih ada. Masih dengan bekas gores yang pernah dia buat diam-diam dengan kunci rumahku.
Di bawah meja itu, aku selipkan secarik kertas:
“Kau menang. Aku belajar mencintaimu ketika kau sudah tidak lagi ada untuk diajari.”
Lalu aku pergi. Bukan untuk melupakan. Tapi untuk ikut tenggelam.
Dalam sunyi yang sama yang dulu pernah ia tinggalkan.
Monolog Batin
Malam ini sunyi lebih keras dari biasanya. Aku mencoba tidur, tapi suara-suara itu datang. Tidak menggertak. Tidak memaki. Hanya mengingatkan, bahwa aku pernah dicintai oleh seseorang yang kini tidak bisa kuhubungi bahkan lewat doa.
Aku membayangkan andai waktu bisa kususun ulang. Mungkin aku tidak akan mengangkat telepon dari masa laluku. Mungkin aku akan memeluk lebih erat, berkata lebih jujur, dan berhenti memainkan teka-teki cinta yang terlalu berbahaya untuk seseorang sefragil Kinda.
Tapi aku tidak melakukan semua itu.
Aku memilih diam saat seharusnya bicara. Aku memilih pergi saat dia butuh aku tetap tinggal. Aku terlalu terlambat belajar bahasa kesedihan, hingga tak menyadari bahwa ia sedang bicara padaku dengan diamnya.
Kini aku hidup dalam pengulangan. Mengulang hari yang sama, kenangan yang sama, kesalahan yang sama. Setiap kopi pagi terasa basi. Setiap lagu terdengar seperti peringatan. Dan setiap mimpi membawa wajah yang tak bisa lagi kutemui.
Aku mencoba menulis, seperti yang dulu sering ia lakukan. Tapi tak satu pun kalimat terasa cukup. Kata “maaf” terasa hina. Kata “rindu” sudah tak berguna. Kata “cinta” terlalu berisik di ruang kosong ini.
Seseorang berkata, waktu menyembuhkan segalanya. Tapi waktu hanya mengajari bagaimana caranya menyembunyikan luka dengan cara yang lebih sopan. Aku tersenyum di depan orang, tapi di dalam pikiranku, aku terus mengulang detik-detik terakhir bersamanya.
Andai aku tahu malam itu adalah malam terakhirnya menatapku sebagai tempat pulang, aku akan berdiri lebih lama. Menahan genggaman lebih erat. Dan menghapus semua ragu dalam matanya.
Tapi kini, bahkan untuk menyesal pun aku merasa tak punya hak. Karena dia sudah pergi. Dan aku masih di sini, mencoba berdamai dengan algoritma yang memaksa kenangannya muncul lagi dan lagi.
Jika kau mendengar ini dari tempat mana pun kau berada, ketahuilah: aku tidak baik. Dan mungkin tak akan pernah benar-benar baik. Tapi aku akan mencoba. Setiap hari. Untuk tidak melupakanmu. Dan tidak lagi mengulang kesalahan yang sama pada siapa pun yang datang setelahmu.
Karena kau bukan sekadar postingan di berandaku.
Kau adalah bab yang tak akan pernah bisa aku edit.
Kau adalah draft yang kutinggalkan terbuka selamanya.
Layar Kosong Aplikasi Pesan
Ketika tubuh Kinda ditemukan, dunia sedang sibuk dengan sesuatu yang lain. Sebuah konser besar sedang viral, seorang selebritas baru saja menikah, dan cuaca hari itu terlalu cerah untuk duka. Tapi di sebuah kamar kecil dengan tirai yang selalu setengah terbuka, Kinda mengakhiri satu-satunya cerita yang tak sempat ia selesaikan.
Ia ditemukan oleh petugas kos, setelah aroma obat yang terlalu pekat merembes dari celah pintu. Tidak ada darah. Tidak ada surat wasiat di meja. Hanya sebuah ponsel yang masih menyala, memperlihatkan layar kosong aplikasi pesan. Di dalamnya, satu nama tetap berada di daftar teratas. Nama itu tak lagi membalas. Mungkin karena sudah tak punya kata. Atau tak pernah benar-benar punya niat.
Pihak keluarga datang dalam diam. Ibunya menangis tanpa suara. Ayahnya berdiri terlalu tegak untuk seseorang yang baru saja kehilangan anak satu-satunya. Mereka menerima tubuh Kinda dalam kantong jenazah yang terlalu putih, terlalu bersih, seolah hidupnya tak pernah diwarnai luka.
Berita kematiannya tidak masuk berita utama. Hanya beberapa status simpati dari akun-akun yang dulu pernah satu lingkaran dengannya. Sebagian menyebutnya puitis. Sebagian bilang ia lemah. Tapi tidak ada yang tahu betapa keras ia mencoba bertahan, dengan cinta yang tak pernah mendapat ruang untuk tumbuh.
Di dalam laptopnya yang terkunci, ditemukan puluhan draft cerpen, puisi, dan catatan harian. Semuanya bercerita tentang perasaan yang tak berhasil ia komunikasikan. Tentang cinta yang hanya tumbuh di sisi satu. Tentang seseorang yang datang sebagai cahaya, lalu pergi sebagai bayangan yang lebih gelap dari malam.
Pemakamannya sederhana. Tanpa ramai pelayat. Hanya hujan yang turun pelan, seperti tahu bahwa tanah butuh kelembaban untuk menyambut seseorang seperti Kinda. Seorang teman lama membacakan satu puisi dari buku catatannya:
“Aku bukan korban cinta. Aku hanya seseorang yang terlalu setia pada rasa yang tak pernah selesai.”
Dan begitulah dunia menutup satu bab yang tak pernah viral. Ia tenggelam tanpa tagar. Tanpa trending. Tapi di hati satu-dua orang yang benar-benar membaca tulisannya, Kinda hidup lebih lama dari yang bisa diprediksi oleh waktu.
Dan di layar ponsel seseorang yang dulu tak pernah cukup hadir, nama Kinda tetap tersimpan. Tanpa blokir. Tanpa hapus.
Hanya terlalu terlambat untuk membalas.
Surat Terakhir Kinda
Untukmu yang tak pernah membaca,
Aku tak tahu harus memulai dari mana. Kata ‘hai’ terasa canggung, kata ‘selamat tinggal’ terlalu dini. Jadi, izinkan aku mulai dengan diamyang selama ini kau pahami sebagai bentuk tenang, padahal ia adalah tanda paling bising dari luka yang tak sempat kuucapkan.
Aku menulis ini bukan untuk menyalahkanmu. Aku menulis karena tidak ada tempat lain yang bisa kupercaya selain selembar teks sunyi yang mungkin takkan pernah sampai. Tapi jika suatu hari kamu membaca ini—entah secara kebetulan, entah karena takdir sengaja bermain algoritma—ketahuilah: aku pernah menunggumu membalas. Lama sekali.
Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak marah. Aku hanya lelah menjadi seseorang yang selalu mengerti, selalu memaafkan, selalu menunggu. Cinta, bagiku, adalah ruang. Tapi bagimu, cinta adalah jeda. Dan aku terlalu lama menjadi koma yang menunggu titik.
Malam-malamku dipenuhi notifikasi dari diriku sendiri. Mengulang kalimat yang tidak pernah kukirim. Menghapus foto-foto yang bahkan tak punya cukup cahaya. Aku pernah berharap kamu akan mencariku. Mungkin dengan satu pesan singkat. Atau satu emoji yang biasa kamu kirim tanpa beban. Tapi tidak pernah datang.
Aku menulis surat ini di hari yang sama saat aku memutuskan bahwa diamku akan menjadi kalimat terakhir. Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku tidak ingin lagi menjadi dinding pantul bagi suara yang tidak pernah benar-benar diarahkan padaku.
Jika kau bertanya kenapa aku pergi sejauh ini, jawabannya sederhana: karena aku mencintaimu dengan cara yang tidak bisa dibagikan dalam format apapun. Bahkan dunia digital pun tidak cukup luas untuk menampung rasa yang kamu perlakukan seperti spam.
Terima kasih karena pernah membuatku berhenti scroll. Karena pernah membuatku percaya, meski sebentar. Tapi cinta yang tidak dibalas adalah sejenis kejahatan yang tidak diatur oleh hukum. Dan aku tak tahu cara jadi penyintasnya lebih lama.
Jadi jika suatu hari kamu menyesal, jangan cari aku. Cari pantulanmu sendiri. Di situ kamu akan lihat seseorang yang dulu pernah ingin kamu temui setiap hari, tapi kamu biarkan pergi karena kamu terlalu sibuk membuka story orang lain.
Dengan tidak menunggu balasan,
Kinda