Seporsi Kecil, Rasa Besar

Judul: Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati
Penulis: Brian Khrisna
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: 2025
Jumlah Halaman: 210 hlm
Harga: Rp93.000
Genre: Novel – Isu Kesehatan Mental
Setelah “Sisi Tergelap Surga” dan “Bandung Menjelang Pagi”, Brian Kembali Menyajikan Kisah Sepahit Hidup dan Segurih Mie Ayam
Setelah sukses membetot perhatian pembaca lewat Sisi Tergelap Surga—novel yang menguliti kehidupan Jakarta dari sisi tergelapnya—serta Bandung Menjelang Pagi yang penuh nostalgia dan kegetiran cinta, Brian Khrisna kini hadir dengan novel terbaru bertajuk Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Kali ini, sang penulis muda berbakat mengangkat tema yang jauh lebih intim dan menyentuh: kesehatan mental, dengan pendekatan yang subtil namun mengena.
Melalui karakter Ale, pria berusia 37 tahun yang divonis mengalami depresi akut, Brian mengajak kita menyelami isi kepala manusia yang telah kehilangan alasan untuk hidup, tetapi masih punya satu keinginan kecil: makan mie ayam terakhir sebelum mati. Premis yang tampak nyeleneh, tapi justru itulah daya magis buku ini—ia menyampaikan isu seberat depresi dengan bahasa yang akrab, hangat, dan tidak menghakimi.
Mie Ayam Terakhir
“Aku ingin mati, tapi ingin mie ayam juga.” Kalimat ini mungkin terdengar seperti lelucon gelap, tetapi dalam tangan Brian, ia menjelma jadi pengantar ke ruang-ruang batin yang sunyi. Ale merasa hidupnya dikendalikan oleh orang lain—dari sekolah, pekerjaan, hingga pernikahan yang kandas. Satu-satunya hal yang bisa ia pilih sendiri adalah mie ayam terakhirnya.
Dan dari keputusan sepele itu, cerita pun bergulir. Perjalanan Ale menyantap mie ayam menjadi jalan spiritual: ia bertemu orang-orang, membuka luka lama, dan pada titik tertentu, menyadari bahwa kadang, yang kita cari bukan solusi besar, tapi pengakuan kecil bahwa kita masih hidup.
Narasi Personal yang Dekat dengan Pembaca
Brian tidak sedang menggurui tentang kesehatan mental. Ia tidak menawarkan solusi instan atau kutipan motivasi semu. Ia justru menulis dengan kejujuran yang brutal tapi penuh kelembutan. Setiap bab terasa seperti potongan cerita yang bisa kita temukan di kehidupan sehari-hari: percakapan dengan abang mie ayam, kegelisahan saat malam minggu sendirian, sampai rasa hampa saat melihat notifikasi kosong di ponsel.
Karakter-karakter pendukung dalam buku ini juga ditulis dengan detail penuh empati. Mereka hadir bukan sebagai “pelengkap cerita”, melainkan sebagai cermin—bahwa tiap orang, bahkan yang terlihat paling kuat, menyimpan ceritanya sendiri. Brian berhasil merangkai kisah mereka menjadi semangkuk narasi utuh yang bisa membuat pembaca tertawa, terdiam, lalu termenung.
Mie Ayam Sebagai Simbol Bertahan
Bukan kebetulan mie ayam jadi ikon dalam novel ini. Ia bukan sekadar makanan rakyat atau comfort food, melainkan simbol sederhana dari keputusan dan kehendak diri—sebuah hal yang sering direbut dari kita oleh standar sosial, ekspektasi orang tua, dan algoritma digital.
Dan melalui kegiatan “Mie Ayam Gratis, Cerita Dibayar” yang diinisiasi Brian jelang peluncuran buku ini, pesan tersebut makin hidup. Puluhan orang membagikan kisah mereka tentang alasan bertahan, dan ternyata: ada yang bertahan karena anaknya, karena sahabatnya, bahkan karena seekor kucing di rumah. Brian menunjukkan bahwa setiap alasan bertahan itu sah dan berharga—sekalipun sekecil semangkuk mie ayam di siang yang panas.
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah novel kecil dengan rasa yang besar. Ia menyuguhkan cerita yang sederhana, tetapi berdampak. Membaca buku ini seperti duduk berlama-lama di warung kaki lima: tidak mewah, tidak tergesa, tapi memberi ruang untuk menyendok ulang makna hidup yang nyaris kita lupakan.
Nilai: 9/10
Catatan Akhir:
Buku ini tidak akan menyelesaikan semua masalahmu. Tapi mungkin, bisa membuatmu diam sejenak dan berkata dalam hati: “Aku belum ingin mati, masih ingin mie ayam satu lagi.”
Okey. Noted for buy
Buruan kak, masih tersedia di rak best seller di toko buku terdekat.